Upacara Adat Kehamilan Indonesia
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Ilmu Sosial dan Budaya Dasar
Dosen Pengampu :
Kelompok :
1.
Aninda Desya
Ramadani (1317001)
2.
Dewi Octavia
Saumananda (1317005)
3.
Diah Ayu
Sulastri (1317006)
4.
Dyah Retno Pangabean (1317007)
5.
Fitri
Purwaningsih (1317011)
6.
Siti Intan Mia
Kornalia (1317013)
7.
Vivi Vitriani
Setianingrum (1317019)
Akademi Kebidanan Bakti Utama Pati
Tahun Akademik 2017/2018
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut
nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan
puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mata
kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar khususnya dengan tema Berbagai Upacara Adat
Kehamilan Indonesia.
Makalah ini telah
kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga
dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terimakasih kepada :
1. Dosen Pembimbing
kami yang selalu memberikan dorongan, kritik dan masukan kepada kami.
2. Teman-teman
Akademi Kebidanan Bakti Utama Pati Tahun Akademik 2017/2018 yang selalu
memberi semangat dan motivasi kepada kami
Harapan kami semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk
kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi
lebih baik lagi. Kami menyadari bahwa makalah
ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, saran dan
kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan
makalah ini.
Pati, 15 Februari 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR........................................................................................................
2
DAFTAR
ISI......................................................................................................................
3
BAB
I PEDAHULUAN
a. Latar Belakang........................................................................................................
4
b. Tujuan Penulisan......................................................................................................
4
c. Manfaat Penulisan...................................................................................................
4
BAB
II PEMBAHASAN
a. Adat Istiadat pada Masa Kehamilan di Jawa..........................................................
5
b. Adat Istiadat pada Masa Kehamilan di Bugis........................................................
7
c. Adat Istiadat pada Masa Kehamilan di Banjar.......................................................
9
d. Adat Istiadat pada Masa Kehamilan di Sunda.......................................................
17
e. Adat Istiadat pada Masa Kehamilan di Madura.....................................................
19
BAB
III PENUTUP
a. Kesimpulan..............................................................................................................
24
b. Saran........................................................................................................................
24
FOLLOW
UP......................................................................................................................
23
DAFTAR
PUSTAKA.........................................................................................................
26
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Budaya adalah suatu cara hidup yang
berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi
ke generasi. Budaya merupakan suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat
kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku
komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan
sosial manusia.
Kebudayaan menurut Andreas Eppink,
mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan
serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan
lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu
masyarakat.
Pengertian Adat Istiadat menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat didefinisikan sebagai aturan (perbuatan)
yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala. Adat adalah wujud gagasan
kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan
aturan-aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi satu sistem atau
kesatuan. Sementara istiadat didefinisikan sebagai adat kebiasaan. Dengan
demikian, adat istiadat adalah himpunan kaidah-kaidah sosial yang sejak lama ada
dan telah menjadi kebiasaan (tradisi) dalam masyarakat. Sebagai contoh, dalam
masyarakat Jawa terdapat adat istiadat untuk melakukan upacara Selapanan ketika
seorang bayi telah berumur 40 hari. Upacara ini sudah menjadi kebiasaan
masyarakat Jawa sejak lama.
B.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui
tentang berbagai macam adat upacara kehamilan di Indonesia.
2.
Untuk memahami
tata cara upacara adat dalam hal kehamilan di masyarakat.
3.
Untuk mengetahui
bagaimana sikap bidan terhadap upacara adat kehamilan di dalam masyarakat.
C.
Manfaat Penulisan
1.
Untuk menambah
wawasan dalam lingkup pengetahuan tentang upacara adat kehamilan di masyarakat.
2.
Untuk mengetahui
sikap apa saja yang harus dilakukan bidan untuk menyikapi upacara adat di
daerah tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Adat Istiadat Jawa Pada Masa Kehamilan
Kehamilan merupakan masa-masa yang tidak terlupakan bagi seorang ibu, di
adat Jawa terdapat beberapa upacara saat prosesi kehamilan yang sudah
turun-temurun diwariskan oleh nenek moyang, upacara-upacara tersebut antara
lain sebagai berikut:
1.
Upacara Tiga Bulanan Upacara ini
dilaksanakan pada saat usia kehamilan adalah tiga bulan. Di usia ini roh
ditiupkan pada jabang bayi, biasanya upacara ini dilakukan berupa tasyakuran.
2. Upacara Tingkepan atau Mitoni Upacara tingkepan disebut juga mitoni,
berasal dari kata “pitu” yang berarti tujuh, sehingga upacara mitoni dilakukan
pada saat usia kehamilan tujuh bulan, dan pada kehamilan pertama. Dalam
pelaksanaan upacara tingkepan, ibu yang sedang hamil tujuh bulan dimandikan
dengan air kembang setaman, disertai dengan doa-doa khusus. Berikut ini adalah
tata cara pelaksanan upacara tingkepan antara lain:
a.
Siraman dilakukan oleh sesepuh
sebanyak tujuh orang. Bermakna mohon doa restu supaya suci lahir dan batin.
Setelah upacara siraman selesai, air kendi tujuh mata air dipergunakan untuk
mencuci muka, setelah air dalam kendi habis, kendi dipecah.
b.
Memasukkan telur ayam kampung ke
dalam kain (sarung) calon ibu oleh suami melalui perut sampai pecah, hal ini
merupakan harapan supaya bayi lahir dengan lancar tanpa suatu halangan.
c.
Berganti nyamping sebanyak tujuh
kali secara begantian, disertai kain putih. Kain putih sebagai dasar pakaian
pertama, yang melambangkan bayi yang akan dilahirkan adalah suci, dan mendapat
berkah dari Tuhan YME. Diiringi dengan pertanyaan “sudah pantas atau belum”
sampai ganti enam kali dijawab oleh ibu-ibu yang hadir “belum pantas” sampai
yang terakhir ke tujuh kali dengan kain sederhana dijawab “pantas”. Adapun
nyamping yang dipakaikan secara urut dan bergantian berjumlah tujuh dan
diakhiri dengan motif yang paling sederhana, urutannya adalah sebagai berikut:
Sidoluhur, Sidomukti, Truntum, Wahyu Tumurun, Udan Riris, Sido Asih, Lasem
sebagai kain, Dringin sebagai kemben.
Beberapa
Pantangan Dalam Prosesi Kehamilan Adat Jawa
Berikut ini adalah pantangan bagi calon ibu dan calon ayah menurut tradisi
Jawa, antara lain sebagai berikut:
1.
Ibu hamil dan suaminya dilarang
membunuh binatang, sebab jika itu dilakukan bisa menimbulkan cacat pada janin
sesuai dengan perbuatannya itu.
2.
Membawa gunting kecil / pisau /
benda tajam lainnya di kantung baju si ibu agar janin terhindar dari
marabahaya.
3.
Ibu tidak boleh keluar malam, karena
banyak roh jahat yang akan mengganggu janin.
4.
Ibu hamil dilarang melilitkan handuk
di leher agar anak yang dikandungnya tidak dililit tali pusar.
5.
Ibu hamil tidak boleh benci kepada sesorang
secara berlebihan, nanti anaknya jadi mirip seperti orang yang dibenci
tersebut.
6.
Ibu hamil tidak boleh makan pisang
yang dempet, nanti anaknya jadi kembar siam.
7.
“Amit-amit” adalah ungkapan yang
harus diucapkan sebagai “dzikir”-nya orang hamil ketika melihat peristiwa yang
menjijikan, mengerikan, mengecewakan dan sebagainya sebagai harapan janin
terhindar dari kejadian tersebut.
8.
Ngidam adalah perilaku khas
perempuan hamil yang menginginkan sesuatu, makanan atau sifat tertentu terutama
diawal kehamilannya. Jika tidak dituruti maka anaknya akan mudah mengeluarkan
air liur.
9.
Dilarang makan nanas, nanas
dipercaya dapat menyebabkan janin dalam kandungan gugur.
10. Jangan makan ikan mentar agar bayi tidak bau amis.
11. Untuk sang ayah dilarang mengganggu, melukai, bahkan membunuh hewan.
Contohnya memancing, membunuh hewan, memburu, dan lain-lain. Serta masih banyak
pantangan-pantangan lain yang harus dihindari oleh calon ibu maupun ayah. Namun
sebenarnya pantangan-pantangan tersebut dapat dinalar apabila ditelaah menurut
ilmu pengetahuan, hanya saja beberapa kemungkinan tidak tertuju langsung dengan
keberlangsungan
hidup si jabang bayi kelak.
(Satria Loka Jaya.2016.http://www.wordpress.com.Adat Istiadat Jawa pada Masa Kehamilan dan
Kelahiran anak).
Sikap Bidan terhadap budaya di
Jawa:
a.
Menghargai dan menghormati
adat yang telah dilaksanakan secara turun termurun.
b.
Mendukung adat
dan kebiasaan yang tidak membahayakan ibu dan janin.
c.
Jika terdapat
adat yang membahayakan ibu dan janin, maka bidan tidak boleh menunjukkan sikap
yang dapat menyinggung masyarakat setempat.
d.
Bidan memberikan
KIE mengenai apa saja yang bisa membahayakan kehidupan ibu dan janin.
B.
Adat Istiadat Suku Bugis Pada Masa Kehamilan
1.
Makkatenni sanro (menghubungi dukun).
Upacara
penyampaian kepada dukun yang telah dipilih berdasarkan musyawarah kedua
keluarga, atau nasehat dari masyarakat dan orang tua. Jika pemilihan dukun
disetujui maka dukun tersebut akan diberikan kepercayaan untuk merawat ibu dan
anaknya nanti.
2.
Mappanre to-mangideng (menyuapi ibu hamil).
Adalah
upacara yang dilakukan pada bulan pertama masa kehamilan, atau dalam suku bugis
disebut mangideng atau ngidam. Biasanya dilalui dengan berbagai macam acara.
Selain itu diberikan pantangan untuk makan makanan tertentu dan melakukan
perbuatan tertentu, baik untuk calon ibu maupun calon ayah.
3.
Upacara
tujuh bulan kehamilan
Dalam bahasa
Bugis Bone disebut Mappassili, yang artinya memandikan.
Makna upacara ini adalah untuk tolak bala atau menghindari dari malapetaka atau
bencana, menjauhkan dari roh-roh jahat sehingga segala kesialan hilang dan
lenyap. Berikut ini merupakan tahapan dari upacara tujuh bulan kehamilan:
a.
Calon ibu yang hamil tujuh bulan dari pasangan muda
ini harus melewati sebuah anyaman bambu yang disebut Sapana yang terdiri dari
tujuh anak tangga, memberi makna agar rezeki anak yang dilahirkan bisa naik
terus seperti langkah kaki menaiki tangga.
b.
Iring-iringan pasangan muda (suami-istri), dalam
pakaian adat Bugis menuju sebuah rumah-rumahan yang terbuat dari bambu dengan
hiasan bunga dan pelaminan yang meriah oleh warna-warna yang mencolok.
Sebelumnya, Upacara Mappassili diawali dengan membacakan doa-doa yang diakhiri
oleh surat Al-Fatihah oleh seorang ustadzah. Bunyi tabuh-tabuhan dari kuningan
yang dipegang oleh seorang bocah laki-laki mengiringi terus upacara ini.
c.
Kemudian upacara ini dipimpin oleh seorang dukun. Ia
mengambil tempat pembakaran dupa dan diputar-putarkan di atas kepala sang ibu.
Asap dupa yang keluar, diusap-usapkan di rambut calon ibu tersebut. Perbuatan
ini memberi makna untuk mengusir roh-roh jahat yang bisa mengganggu kelahiran
bayi. Menurut kepercayaan mereka, roh jahat itu terbang bersama asap dupa.
d.
Calon ibu di perciki air dengan menggunakan beberapa
helai daun ke bagian tubuh tertentu, mulai dari atas kepala, bahu, lalu turun
ke perut. Bahu menyimbolkan agar anak punya tanggung jawab yang besar dalam
kehidupannya. Demikian pula tata cara percikan air dari atas kepala turun ke
perut, tak lain agar anaknya nanti bisa meluncur seperti air, mudah dilahirkan
dan kehidupannya lancar bagai air. Calon ibu mengenakan pakaian adat Bone yang
berwarna merah.
e.
Dilanjutkan dengan upacara makarawa babua yang berarti
memegang atau mengelus perut. Pernik-pernik pelengkap upacara ini lebih meriah
lagi ditambah lagi dengan beraneka macam panganan yang masing-masing memiliki
simbol tertentu.
f.
Calon ibu yang telah berganti pakaian adat Bone
berwarna merah ditidurkan di tempat pelaminan. Sang dukun akan mengelus perut
calon ibu tersebut dan membacakan doa. Selanjutnya daun sirih yang ditaburi
beras diletakkan di kaki, perut, kening kepala calon ibu dimaksudkan agar
pikiran ibu tetap tenang, tidak stress. Diletakkan di bagian kaki sebagai
harapan agar anak melangkahkan kakinya yang benar. Sementara beras sebagai
perlambang agar anak tak kekurangan pangan. Seekor ayam jago sengaja diletakkan
di bawah kaki calon ibu. Bila ternyata ayam tersebut malas mematuk beras,
menurut mereka ini pertanda anak yang akan lahir perempuan.
g.
Tahap akhir upacara tujuh bulan Bugis Bone ini adalah
suap-suapan yang dilakukan oleh dukun, pasangan tersebut (sebagai calon bapak
dan ibu) dan orang tua keduanya. Acara ditutup dengan rebutan hiasan anyaman
berbentuk ikan dan berisi telur bagi ibu-ibu yang memiliki anak gadis atau yang
sudah menikah. Ini sebagai perlambang agar anak-anaknya segera mendapat jodoh
yang baik, dan nantinya melahirkan dengan mudah.
(Dwi Suci.2016.https://bidandwisuci.wordpress.com.Adat Istiadat Kesehatan Ibu dan Bayi Suku
Bugis)
Sikap
Bidan terhadap budaya suku bugis:
a.
Bidan harus
memiliki sikap toleransi dan menghargai adat kehamilan di suku bugis.
b.
Bidan memberikan
pengetahuan dan pelatihan kepada dukun tentang asuhan yang benar dalam
kehamilan.
c.
Bidan bekerjasama
dengan dukun untuk mendampingi si ibu dalam masa kehamilan dan persalinannya
agar si ibu lebih tenang.
d.
Bidan harus
memastikan bahwa rangkaian upacara adat yang dilakukan tidak berbahaya bagi ibu
hamil.
e.
Bidan
bekerjasama dengan tokoh masyarakat untuk memberi pengetahuan tentang
pentingnya persalinan yang difasilitasi oleh tenaga kesehatan untuk mengurangi
angka kematian.
C.
Adat Istiadat Banjar (Kalimantan Selatan) Pada Masa
Kehamilan
1.
Upacara Mendapatkan Keselamatan
Wanita
yang hamil pertama kali (tian mandaring) harus diupacara mandikan. Keharusan
melakukan upacara mandi hamil ini konon hanyalah berlaku bagi wanita nag turun
temurun melakukan upacara ini. Seorang wanita yang keturunannya seharusnya
tidak mengharuskan dilakukannya upacara itu, tetapi karena kondisi si bayi
dalam kandungan mengharuskannya melalui ayahnya, si wanita itu harus pula
menjalaninya. Jika tidak konon wanita itu dapat dipingit, sehingga
umpamanya si bayi lambat lahir dan akibatnya ia sangat menderita karenanya.
Dalam
kehidupan masyarakat Banjar yang masih terikat akan tradisi lama, apabila
seseorang wanita yang sedang hamil untuk kali pertamanya, ketika usia kehamilan
mencapai tiga bulan atau pada kehamilan tujuh bulan maka diadakanlah suatu upacara
dengan maksud atau tujuan utama untuk menolak bala dan mendapatkan keselamatan.
Karena menurut kepercayaan sebagian masyarakat Banjar, bahwa wanita yang sedang
hamil tersebut suka diganggu mahluk-mahluk halus yang jahat.
Upacara
ini juga mempunyai maksud dan tujuan untuk keselamatan bagi ibu yang sedang
hamil serta keselamatan bagi seluruh keluarganya. Bagi masyarakat Banjar Hulu
Sungai khususnya, menganggap bahwa angka ganjil seperti 3, 7 dan 9 bagi yang
hamil merupakan saat-saat yang dianggap sakral. Bukankah kelahiran sering
terjadi pada bulan ke7 dan bulan ke-9? Dan menurut kepercayaan mereka bahwa
roh-roh halus dan hantu selalu berusaha mengganggu si ibu dan dan bayi dalam
kandungan, karena menurut mereka bahwa wanita hamil 3 bulan itu baunya harum.
Pada
masyarakat Banjar Batang Banyu telah diketahui ada suatu upacara yang
disebut “Batapung Tawar Tian (hamil) Tiga Bulan”, menyusul kemudian
dilaksanakan upacara mandi “Tian Mandaring” ketika kehamilan telah
berusia tujuh bulan. Tetapi pada masyarakat Banjar Kuala sampai saat ini hanya
mengenal dan melakukan upacra mandi “Tian Mandaring” atau sering pula
disebut upacara mandi “Bapagar Mayang”. Dikatakan demikian karena
upacara tersebut dikelilingi oleh benang yang direntangkan dari tiang ke tiang
tersebut di tebu (manisan) serta tombak (bila ada), sehingga merupakan ruang
persegi empat pada benang-benang tersebut disangkutkan mayang-mayang pinang dan
kelengkapan lainnya. Adapun tata pelaksanaan upacara “Mandi Tian Mandaring” ini
akan dikupas pada pembahasan selanjutnya.
Upacara
mandi dengan bepagar mayang ini kebanyakan dilaksanakan oleh
kelompok, tutus bangsawan atau tutus candi, tetapi pada kebanyakan rakyat biasa
atau orang yang tidak mampu tetapi ingin melaksanakan upacara in, maka
pelaksanaan cukup sederhana saja tanpa menggunakan pagar mayang.
Selain
upacara yang berupa mandi tersebut, adapula beberapa upaya yang diusahakan oleh
para orang tua untuk anak atau menantunyayang sedang hamil sebagai wujud sebuah
pengharapan dari seluruh keluarga agar ibu yang akan melahirkan kelak selamat
dan tidak ada gangguan pada saat persalinan (kada halinan) serta anak yang
lahir sempurna keadaannya. Upaya-upaya tersebut antara lain:
a.
Mengingatkan anak menantunya yang sedang
hamil untuk menghindari dari hal-hal yang bersifat pantangan (tabu).
b.
Memberikan doa atau bacaan al-Qur’an
untuk dijadikan amalan selama masa kehamilan.
c.
Meminta air (banyu tawar) yang telah
dibacakan doa-doa dari seorang tabib atau orang pintar.
2. Hal-hal
yang Berupa Pantangan
Sebagian
dari kelompok masyarakat yang masih memakai adat tradisi lama, hal-hal yang
bersifat pantangan atau pamali masih mereka yakini, namun sebagiannya tidak
memperdulikan hal-hal yang bersifat pantangan tersebut. Sebab sebagian
beranggapan bahwa hal-hal yang seperti tidak masuk akal (mustahil) dapat
mempengaruhi kehamilan. Hal-hal yang berupa pantangan tersebut antara lain:
a.
Tidak boleh duduk di depan pintu,
dikhawatirkan akan susah melahirkan.
b.
Tidak boleh keluar rumah pada waktu
senja hari menjelang waktu maghrib, dikhawatirkan kalau diganggu mahluk halus
atau roh jahat.
c.
Tidak boleh makan pisang dempet,
dikhawatirkan anak yang akan dilahirkan akan kembar dempet atau siam.
d.
Jangan membelah puntung atau kayu api
yang ujungnya sudah terbakar, karena anak yang dilahirkan bisa sumbing atau
anggota badannya ada yang buntung.
e.
Jangan meletakan sisir di atas kepala,
ditakutkan akan susah saat melahirkan.
f.
Dilarang pergi ke hutan, karena wanita
hamil menurut kepercayaan mereka baunya harum sehingga mahluk-mahluk halus
dapat mengganggunya.
g.
Dilarang menganyam bakul karena dapat
berakibat jari-jari tangannya akan berdempet menjadi satu.
Pantangan-pantangan
tersebut di atas bukan hanya pada si calon ibu saja, tetapi juga berlaku
terhadap suaminya.
3. Pemeliharaan
Kehamilan dan Keselamatan
Cara
pemeliharaan kehamilan tidaklah berbeda dengan wanita-wanita dari suku lain.
Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas) banyak mereka kunjungi untuk memeriksa
kehamilan. Selain itu pemeriksaan kehamilan secara tradisional pun mereka
lakukan yaitu dengan cara:
a.
Melakukan pijatan atau dengan istilah
Banjar “Baurut” pada seorang dukun beranak atau bidan kampung
yang ahli dalam bidang pijatan (urut).
b.
Membatasi diri untuk tidak terlalu suka
minum air es.
c.
Memperbanyak makan sayur dan
buah-buahan.
d.
Jika perut terasa sakit karena masuk angin,
oleh bidan kampung disuruh meminum air rebusan gula merah dengan jahe
(tipakan).
e.
Jika kaki bengkak, maka digosok
dengan wadak panas atau ramuan beras kencur.
4.
Upacara Mandi Hamil
a. Nama
Upacara dan Tahap-tahapnya.
Berbagai
nama bagi upacara mandi hamil ialah: mandi-mandi matian, mandi baya, mandi
bepapai dan badudus. Dinamakan mandi baya karena
menggunakan antara lain banyu baya, air yang disiapkan oleh bidan khusus
untuk keperluan tersebut. Dinamakan bapapai karena memapai,
yaitu memercikan air dengan berkas daun-daunan, merupakan salah satu acara
pokok dalam upacara ini. Badudus ialah istilah lain bagi upacara
mandi (bandingkan dengan duduk dalam ras.1968: Glosary dan Index), demikian
pula mandi-mandi atau bamandi-mandi. Tambahan kata batian pada istilah
mandi-mandi untuk membedakannya dengan upacara mandi lainnya
(hamil, batian, memperoleh hamil). Kata baya dalam
ungkapan banyu baya dan mandi baya tidak jelas artinya.
Untuk
mengetahui makna atau pengertian, baiklah kita lihat atau kita tinjau dari
pengertian istilah atau nama dari upacara ini, yaitu “Betapung Tawar Tian
Tiga Bulan”. Betapung berasal dari kata tapung dalam bahasa
Banjar maksudnya mengikat atau mendekatkan antara satu benda dengan benda yang
lain. “Ba” adalah satu awalan dalam bahasa Banjar, di mana digunakan
untuk menunjukan pekerjaan dan berfungsi sebagai penegas dari kata tapung.
Sedangkan tawar berarti terang atau selamat.
Sedangkan tian maksudnya adalah kehamilan atau hamil atau kandungan
yang berada dalam rahim ibu yang sedang mengandung.
Oleh
Karena itu Batapung Tawar Tian Tiga Bulan berarti suatu upacara yang
bertujuan untuk mendapatkan keselamatan bagi wanita yang sedang hamil atau
mengandung tiga bulan.
Secara
kata atau istilah berarti bahwa Batapung Tawar Tian Tiga Bulan ialah
memercikan air tepung tawarkepada wanita yang sedang hamil tiga bulan.
b. Waktu
Penyelenggaraan Upacara
Upacara
mandi ini harus dilaksanakan pada umur kehamilan tujuh bulan atau tidak lama
sesudahnya. Upacara mandi ini harus dilaksanakan pada waktu turun
bulan, khususnya pada hari-hari dalam minggu ke tiga bulan Arab. Apabila
karena sesuatu hal upacara mandi tidak dapat dilaksanakan pada waktu tersebut,
pelaksanaannya ditunda pada bulan berikutnya. Juga upacara ini harus dilaksanakan
pada waktu turun matahari, upacara ini biasanya dilakukan sekitar jam
14.00 dan tidak pernah setelah jam 16.00. Secara darurat upacara mandi ini
pernah dilaksanakan di Dalam Pagar, yaitu pada saat si wanita sudah hampir
melahirkan. Si wanita ini sudah lama sakit akan melahirkan, dan oleh bidan yang
menolongnya dinyatakan bahwa meskipun si wanita bukan keturunan yang harus
melakukan upacara itu, tetapi si bayi mengharuskannya melalui ayahnya. Oleh
karena itu upacara mandi secara darurat dilaksanakan, yaitu hanya sekedar
menyiram dan memerciki si ibu dengan banyu baya. Segera setelah selesai
dimandikan tersebut konon lahirlah bayinya.
c. Tempat
Penyelenggaraan Upacara
Para
informan di Dalam Pagar menyatakan upacara ini harus dilaksankan di
dalam pagar mayang. Pada upacara yang berhasil diamati di Akar Bagantung
dan Teluk Selong (1979), pagar mayang memang digunakan, tetapi pada
upacara mandi yang dilaksanakan di Dalam Pagar (1980) tidak dibangun pagar
mayang, melainkan cukup dilaksanakan di atas palatar belakang.
d. Pihak
yang Terlibat dalam Upacara
Pihak yang terlibat
dalam upacara ini di antaranya:
1. Orang
tua dari kedua belah pihak baik itu ibu kandung atau ibu mertua.
2. Saudara-saudara,
kerabat-kerabat seperti julak (saudara ibu), uma
kacil (adik ibu) dan begitu pula dari pihak mertua.
3. Di
pimpin oleh bidan kampong (dukun beranak) dan Tuan Guru (mualim) yang
membacakan doa selamat setelah upacara berakhir.
Selain pihak-pihak di
atas masih ada yang terlibat dalam upacara tersebut, yakni para undangan yaitu
wanita-wanita tetangga dan kerabat dekat, umumnya terdiri dari ibu-ibu muda dan
wanita-wanita muda yang sudah kawin. Wanita-wanita tua yang hadir biasanya
adalah mereka yang banyak tahu tentang upacara ini atau karena diperlukan untuk
membantu bidan melaksanakannya.
e. Persiapan
dan Perlengkapan Upacara
Upacara
mandi hamil mengharuskan tersedianya 40 jenis penganan atau “wadai ampat
puluh”. Mungkin sebenarnya berjumlah 41, atau bahkan
lebih. Wadai 40 ini terdiri dari: apam (putih dan
merah), cucur (putih dan merah), kawari, samban,
tumpiangin (sejenis rempeyek di Jawa, tetapi kali ini tidak menggunakan
kacang tanah melainkan kelapa iris), cicin (cincin, perhiasan dipakai
di jari, dua jenis dan tiga warna), parut hayam (perut lilit ayam,
tiga warna), sarang samut (sarang semut, tiga
warna), cangkaruk (cengkaruk), ketupat (empat jenis), nasi ketan
putih (dengan inti di atasnya), wajik, kokoleh (putih
dan merah), tapai, lemang, dodol, madu kasirat(sejenis dodol tapi masih muda), gagati (empat
jenis), dan sesisir pisang mahuli.
Sedangkan
hidangan untuk para tamu ialah nasi ketan (dengan inti)
dan apam dari wadai 40 ini, tetapi bisa juga ketupat dan
sayur tumis ditambah dengan nasi ketan, atau hidangan lainnya. Tetapi di
Anduhum konon kadang-kadang ada keharusan (dahulu) menghidangkan bubur ayam,
yang mungkin mengandung perlambang tertentu pula. Dapat diduga meskipun
terdapat kesamaan dalam jumlah jenis penganan yang harus dihidangkan pada
upacara mandi hamil di Martapura namun terdapat perbedaan tentang keharusan
adanya jenis-jenis penganan tertentu tergantung pada kerabat yang
melaksanakannya. Pada upacara mandi yang diamati di Dalam Pagar terdapat
detail-detail seperti yang akan dijelaskan di bawah ini.
Kue
apam dan cucur, masing-masing berwarna merah dan putih, adalah kue-kue yanag
biasa dipergunakan sebagai syarat upacara batumbang, yang
dilaksanakan setelah upacara mandi selesai.
Kue samban dan kawarimerupakan lambang jenis kelamin bayi yang
akan lahir. Samban melambangkan jenis kelamin perempuan
dankawari melambangkan jenis kelamin pria. Apam, cucur, kokoleh,
wajik, nasi ketan, dodol dan madu kasiratmerupakan kue-kue yang harus ada
karena menggunakan air sungai Kitanu. Nasi ketan kuning dan telur rebus di
atasnya merupakan sajian untuk buaya kuning yang konon (dahulu) menghuni sebuah
lubuk dekat balai padudusan di tepi sungai Kitanu.
Kue gagati jumlahnya harus sembilan dan ketupat jumlahnya harus
tujuh. Tidak berhasil diungkapkan untuk siapa disajikan dan mengapa harus
sembilan dan tujuh, sedangkan kue-kue lainnya tidak harus demikian.
Di
Dalam pagar mayang, atau di tempat upacara mandi akan dilaksanakan,
diletakan perapen, dan berbagai peralatan mandi. Sebuah tempayan atau
bejana plastik berisi air tempat merendam mayang pinang (terurai),
beberapa untaian bunga (kembang berenteng), sebuah ranting kambat, sebuah
ranting balinjuang dan sebuah ranting kacapiring. Sebuah tempat
air yang lebih kecil berisi banyu baya, yaitu air yang dimantrai oleh
bidan, sebuah lagi berisi banyu Yasin, yaitu air yang dibacakan surah
Yasin, yang sering dicampuri dngan banyu Burdah yaitu air yang
dibacakan syair Burdah. Selain itu pada pengamatan di Dalam Pagar, terdapat
sebuah gelas berisi air (banyu) sungai Kitanu. untuk keperluan mandi ini
terdapat juga kasai (bedak, param) temugiringdan keramas asam
jawa atu jeruk nipis. Dahulu, sebagai tempat duduk si wanita hamil itu
diletakan sebuahkuantan (sejenis panci terbuat dari tanah yang diletakan
tengkurap dan di atasnya diletakan bamban (bamban bajalin). Merupakan
alat mandi pula ialah mayang pinang yang masih dalam seludangnya,
kelapa tumbuh (berselimut kain kuning), benang lawai dan kelapa muda.
Untuk
keperluan mandi hamil diperlukan dua buah piduduk. Sebuah akan
diserahkan kepada bidan yang memimpin upacara dan yang membantu proses
kelahiran, dan sebuah lagi sebagai syarat upacara. Yang pertama dilengkapi
dengan rempah-rempah dapur, sedangkan yang sebuah lagi termasuk di dalamnya
alat-alat yang diperlukan untuk melahirkan, ayam, pisau dan sarung berwarna
kuning. Konon jenis kelamin ayam harus sesuai denagn jenis kelamin bayi yang
akan lahir, sehingga praktis tidak mungkin disediakan, dan demikian pula
alat-alat yang diperlukan untuk melahirkan biasanya juga belum tersedia, namun
harus tegas dinyatakan sebagai ada. Bagian dari piduduk yang belum
tersedia ini dikatakan sebagai “dihutang”, sebagai syarat menyediakan barang
yang belum ada ini harus disediakan nasi ketan dengan inti, yang
dihidangkan kepada hadirin setelah upacara selesai.
f. Proses
Upacara
Berikut
upacara mandi yang terjadi di Teluk Selong, sebuah kampung yang terletak
bersebrangan sungai dengan Dalam Pagar.
Wanita
hamil yang diupacarakan memakai pakaian yang indah-indah dan memakai perhiasan,
duduk di ataslapik di ruang tengah sambil memangku sebiji kelapa tumbuh
yang diselimuti kain kuning menghadapi sajianwadai ampat puluh. Setelah
beberapa lama duduk dengan disaksikan oleh para undangan wanita, perempuan
hamil itu turun ke pagar mayang sambil menggendong kelapa tumbuh
tadi. Ketika ia turun ke pagar mayang, ia menyerahkan kelapa yang
digendongnya kepada orang lain, bertukar pakaian dengan kain basahan kuning
sampai batas dada, lalu duduk di atas bamban bajalin, sedemikian sehingga
kuantan tanah langsung remuk. Para wanita tua yang membantunya mandi (jumlahnya
selalu ganjil, sekurang-kurangnya tiga dan paling banyak tujuh orang dan
seorang di antaranya bertindak sebagi pemimpinnya, yaitu biasanya bidan)
menyiraminya dengan air bunga, membedakinya dengan kasai
temugiring lalu mengeramasinya.
Selanjutnya
para pembantunya itu berganti-ganti mamapaikan
berkas mayang, berkas daun balinjuang dan berkas
daun kacapiring kepadanya dan kadang-kadang juga kepada hadirin di
sekitarnya. Proses berikutnya ialah menyiramkan berbagai air lainnya,
yaitu banyu sungai Kitanu, banyu baya, yang telah dicampur dengan banyu
Yasin atau banyu doa, dan banyu Burdah. Setiap kali disiram
dengan air-air tersebut, si wanita hamil diminta untuk menghirupnya sedikit.
Sebuah mayang pinang yang masih belum terbuka dari seludangnya
diletakkan di atas kepala wanita hamil tersebut lalu ditepuk, diusahakan sekali
saja sampai pecah. Mayang dikeluarkan dari seludangnya lalu
diletakkan di atas kepala wanita hamil dan disirami dengan air kelapa muda tiga
kali berturut-turut dengan posisi mayang yang berbeda-beda. Kali ini juga
airnya harus dihirup oleh wanita hamil itu.
Kemudian
diambil dua tangkai mayang dan diselipkan di sela-sela daun telinga
si wanita hamil masing-masing sebuah. Lalu dua orang perempuan tua membantunya
meloloskan lawai dari kepala sampai ke ujung kaki, tiga kali berturut-turut.
Untuk melepaskan lawai dari kakinya, pada kali yang pertma ia
melangkah ke depan, kali yang ke dua melangkah ke belakang dan terakhir kembali
melangkah ke depan.
Sesudah
itu badannya dikeringkan dan ia berganti pakaian lalu keluar dari pagar mayang.
Di luar telah tersedia sebiji telur ayam yang harus dipijakinya ketika
melewatinya. Ketika ia keluar untuk kembali ke ruang tengah ini dibacakan pula
shalawat berramai-ramai. Di ruang tengah si wanita hamil itu kembali duduk di
atas lapik di hadapan tamu-tamu, disisiri dan disanggul
rambutnya. Pada saat itu juga di tepung tawari, yaitu
dipercikanminyak likat beboreh dengan anyaman daun kelapa yang
dinamakan tepung tawar.
Setelah
itu lalu batumbang dibacakan doa selamat oleh salah seorang hadirin.
Sementara itu si wanita hamil menyalami semua wanita yang hamil menyalami semua
wanita yang hadir, lalu masuk ke dalam kamarnya. Setelah itu hidangan pokok
diedarkan dan kemudian ditambah dengan hidangan tambahan berupa nasi ketan
(dengan inti), apam, cucur dan kue-kue lainnya yang sebelumnya dipamerkan
sebagai saji. Sebagian kue saji harus disiapkan untuk dibawa pulang oleh bidan
dan perempuan-perempuan tua yang tadi membantu si wanita hamil itu mandi.
g. Arti
Lambang dan Makna di Balik Upacara
Dalam
upacara mandi ini dilambangkna kelancaran proses kelahiran dengan berbagai
cara, yaitu:
1. Pecahnya kuantan tanah
ketika diduduki melambangkan pecahnya ketuban.
2. Pecahnya mayang dengan
sekali tepuk saja menandakan proses kelahiran akan berjalan dengan lancar,
tetapi bila perlu ditepuk beberapa kali agar pecah, konon menandakan proses
kelahiran akan terganggu (halinan baranak), meskipun diharapkan akan berakhir
dengan selamat juga.
3. Proses
kelahiran diperagakan dengan meloloskan lawai pada tubuh si wanita mengisyaratkan
mudahnya proses itu.
4. Pecahnya
telur ketika dipijak juga melambangkan prose kelahiran yang cepat pula.
5. Kelapa
tumbuh yang dipangku dan kemudian digendong melambangkaan bayi.
6. Memerciki
dengan tepung tawar ialah guna memberkatinya.
7. Dan batumbang konon
akan memperkuat semangatnya.
Sikap
Bidan terhadap budaya di Banjar:
a. Bidan
menghargai dan menghormati adat dan kebiasaan masyarakat setempat.
b. Bidan
mendukung pelaksanaan upacara adat yang tidak membahayakan ibu dan janinnya.
c. Dalam
adat pemeliharaan kesehatan dan keselamatan, bidan harus memberi pengertian
bahwa selama dalam masa kehamilan, dukun tidak diperkenankan untuk memijat
bagian perut si ibu.
d. Bidan
memberikan pelatihan kepada dukun tentang bagaimana cara melakukan perawatan
yang benar tehadap ibu hamil.
e. Karena
masyarakat setempat masih sangat bergantung pada dukun, maka bidan harus
bekerjasama dengan tokoh masyarakat untuk memberikan penyuluhan bahwa wanita
hamil harus juga ditangani oleh bidan atau tenaga kesehatan yang berkompetensi.
D.
Adat Istiadat Sunda Pada Masa Kehamilan
1.
Upacara
Mengandung Empat Bulan
Dulu Masyarakat Jawa Barat apabila seorang perempuan
baru mengandung 2 atau 3 bulan belum disebut hamil, masih disebut mengidam.
Setelah lewat 3 bulan barulah disebut hamil. Upacara mengandung Tiga Bulan dan
Lima Bulan dilakukan sebagai pemberitahuan kepada tetangga dan kerabat bahwa
perempuan itu sudah betul-betul hamil.
Namun sekarang kecenderungan orang-orang
melaksanakan upacara pada saat kehamilan menginjank empat bulan, karena pada
usia kehamilan empat bulan itulah saat ditiupkannya roh pada jabang bayi oleh
Allah SWT. Biasanya pelaksanaan upacara Mengandung empat Bulan ini mengundang
pengajian untuk membacakan do’a selamat, biasanya doa nurbuat dan doa lainnya
agar bayinya mulus, sempurna, sehat, dan selamat.
2.
Upacara
Mengandung Tujuh Bulan/Tingkeban
Upacara Tingkeban adalah upacara yang
diselenggarakan pada saat seorang ibu mengandung 7 bulan. Hal itu dilaksanakan
agar bayi yang di dalam kandungan dan ibu yang melahirkan akan selamat.
Tingkeban berasal dari kata tingkeb artinya tutup, maksudnya si ibu yang sedang
mengandung tujuh bulan tidak boleh bercampur dengan suaminya sampai empat puluh
hari sesudah persalinan, dan jangan bekerja terlalu berat karena bayi yang
dikandung sudah besar, hal ini untuk menghindari dari sesuatu yang tidak
diinginkan. Di dalam upacara ini biasa diadakan pengajian biasanya membaca
ayat-ayat Al-Quran surat Yusuf, surat Lukman dan surat Maryam.
Di samping itu dipersiapkan pula peralatan untuk upacara memandikan ibu hamil , dan yang utama adalah rujak kanistren yang terdiri dari 7 macam buah-buahan. Ibu yang sedang hamil tadi dimandikan oleh 7 orang keluarga dekat yang dipimpin seorang paraji secara bergantian dengan menggunakan 7 lembar kain batik yang dipakai bergantian setiap guyuran dan dimandikan dengan air kembang 7 rupa. Pada guyuran ketujuh dimasukan belut sampai mengena pada perut si ibu hamil, hal ini dimaksudkan agar bayi yang akan dilahirkan dapat berjalan lancar (licin seperti belut). Bersamaan dengan jatuhnya belut, kelapa gading yang telah digambari tokoh wayang oleh suaminya dibelah dengan golok. Hal ini dimaksudkan agar bayi yang dikandung dan orang tuanya dapat berbuat baik lahir dan batin, seperti keadaan kelapa gading warnanya elok, bila dibelah airnya bersih dan manis. Itulah perumpamaan yang diharapkan bagi bayi yang dikandung supaya mendapatkan keselamatan dunia-akhirat
Di samping itu dipersiapkan pula peralatan untuk upacara memandikan ibu hamil , dan yang utama adalah rujak kanistren yang terdiri dari 7 macam buah-buahan. Ibu yang sedang hamil tadi dimandikan oleh 7 orang keluarga dekat yang dipimpin seorang paraji secara bergantian dengan menggunakan 7 lembar kain batik yang dipakai bergantian setiap guyuran dan dimandikan dengan air kembang 7 rupa. Pada guyuran ketujuh dimasukan belut sampai mengena pada perut si ibu hamil, hal ini dimaksudkan agar bayi yang akan dilahirkan dapat berjalan lancar (licin seperti belut). Bersamaan dengan jatuhnya belut, kelapa gading yang telah digambari tokoh wayang oleh suaminya dibelah dengan golok. Hal ini dimaksudkan agar bayi yang dikandung dan orang tuanya dapat berbuat baik lahir dan batin, seperti keadaan kelapa gading warnanya elok, bila dibelah airnya bersih dan manis. Itulah perumpamaan yang diharapkan bagi bayi yang dikandung supaya mendapatkan keselamatan dunia-akhirat
Sesudah selesai dimandikan biasanya ibu hamil
didandani dibawa menuju ke tempat rujak kanistren tadi yang sudah dipersiapkan.
Kemudian sang ibu menjual rujak itu kepada anak-anak dan para tamu yang hadir
dalam upacara itu, dan mereka membelinya dengan menggunakan talawengkar, yaitu
genteng yang sudah dibentuk bundar seperti koin. Sementara si ibu hamil menjual
rujak, suaminya membuang sisa peralatan mandi seperti air sisa dalam
jajambaran, belut, bunga, dsb. Semuanya itu harus dibuang di jalan simpang
empat atau simpang tiga. Setelah rujak kanistren habis terjual selesailah
serangkaian upacara adat tingkeban.
3.
Upacara
Mengandung Sembilan Bulan
Upacara sembuilan bulan dilaksanakan setelah usia
kandungan masuk sembilan bulan. Dalam upacara ini diadakan pengajian dengan
maksud agar bayi yang dikandung cepat lahir dengan selamat karena sudah
waktunya lahir. Dalam upacara ini dibuar bubur lolos, sebagai simbul dari
upacara ini yaitu supaya mendapat kemudahan waktu melahirkan, lolos. Bubur
lolos ini biasanya dibagikan beserta nasi tumpeng atau makanan lainnya.
4.
Upacara Reuneuh
Mundingeun
Upacara
Reuneuh Mundingeun dilaksanakan apabila perempuan yang mengandung lebih dari
sembilan bulan,bahkan ada yang sampai 12 bulan tetapi belum melahirkan juga,
perempuan yang hamil itu disebut Reuneuh Mundingeun, seperti munding atau
kerbau yang bunting. Upacara ini diselenggarakan agar perempuan yang hamil tua
itu segera melahirkan jangan seperti kerbau, dan agar tidak terjadi sesuatu
yang tidak diinginkan.
Pada
pelaksanaannya leher perempuan itu dikalungi kolotok dan dituntun oleh indung
beurang sambil membaca doa dibawa ke kandang kerbau. Kalau tidak ada kandang
kerbau, cukup dengan mengelilingi rumah sebanyak tujuh kali. Perempuan yang
hamil itu harus berbuat seperti kerbau dan menirukan bunyi kerbau sambil
dituntun dan diiringkan oleh anak-anak yang memegang cambuk. Setelah
mengelilingi kandang kerbau atau rumah, kemudian oleh indung beurang dimandikan
dan disuruh masuk ke dalam rumah. Di kota pelaksanaan upacara ini sudah jarang
dilaksanakan.
Sikap
Bidan terhadap budaya di Sunda:
a. Bidan
menghargai dan menghormati adat dan kebiasaan masyarakat setempat.
b.
Bidan mendukung pelaksanaan upacara adat
yang tidak membahayakan ibu dan janinnya.
c.
Bidan melakukan
pendekatan kepada ibu hamil, dukun bayi, dan keluarga agar tidak melakukan
upacara adat yang membahayakan ibu dan bayinya.
E.
Adat Istiadat Madura Pada Masa Kehamilan
1.
Upacara Pelet
Kandhung
Upacara pelet kandhung atau pelet bettang adalah
sebuah upacara ritual orang hamil yang biasa dilakukan oleh penduduk yang
berdiam di daerah Bangkalan dan Sampang Madura. Sebenarnya upacara pelet
khandung ini mirip dengan tradisi yang biasa dilaksanakan oleh beberapa tempat
di nusantara ketika masa kehamilan telah mencapai usia 7 bulan. Tapi seperti
halnya pepatah lama yang berbunyi lain lubuk lain belalang, maka meskipun
upacara ini sama-sama dilakukan oleh orang yang sedang hamil, tapi tentu saja
cara dan prosesi yang dilakukan berbeda-beda.
Sebelum upacara pelet kandhung dilaksanakan, si ibu
yang tahu bahwa dirinya hamil akan mengadakan upacara nandai yaitu sebagai
penanda bahwa dirinya hamil. Setelah upacara nandai usai, maka akan ditaruh
sebiji bigilan atau beton (biji dari buah nangka) di atas sebuah leper (tatakan
cangkir) dan diletakkan di atas meja. Setiap bulannya, di leper itu ditambah
satu biji bigilan sesuai dengan hitungan usia kandungan perempuan tersebut.
Dan, pada saat di atas leper itu telah ada tujuh biji bigilan yang menandakan
bahwa usia kandungan telah mencapai tujuh bulan, maka barulah diadakan upacara
pelet kandhung atau pelet betteng.
Sebagaimana halnya upacara pada umumnya, dalam
upacara pelet kandhung yang biasanya akan dilaksanakan pada saat bulan sedang
purnama dan selepas isya ini pun memiliki tata cara tersendiri dan dibagi dalam
beberapa tahap yang harus dijalankan oleh yang akan melaksanakan upacara.
Disamping itu, harus disiapkan juga berbagai peralatan dan perlengkapan yang
akan menunjang pelaksanaan upacara pelet kandhung. Adapun peralatan dan
perlengkapan untuk upacara pelet kandhung ini antara lain :
a.
Kain putih
sepanjang 1½ meter untuk digunakan sebagai penutup badan sang ibu hamil ketika
melaksanakan upacara dimandikan
b.
Air 1 belanga
besar untuk mandi
c.
Bunga setaman
untuk campuran air mandi pada saat upacara pemandian
d.
Gayung yang
terbuat dari tempurung kelapa dan gagangnya dari ranting pohon beringin yang
masih ada daunnya
e.
1 butir telur
ayam mentah dan 1 butir telur ayam matang dengan direbus
f.
Ketan kuning
yang telah masak
g.
Seekor ayam muda
h.
Minyak kelapa
untuk digunakan mengurut dalam pijat perut
i.
Kemenyan Arab
j.
Setanggi
k.
Uang logam yang
nantinya dicemplungkan kedalam air yang akan dipakai dalam upacara pemandian
l.
Sepasang kelapa
gading yang telah digambari tokoh wayang Arjuna dan Sembodro serta dibubuhi
tulisan Arab atau Jawa
m. Kue procut, juadah pasar (jajanan pasar), lemeng
(ketan yang dibakar dalam bambu), tettel (penganan yang terbuat dari ketan),
minuman cendol, la’ang dan bunga siwalan (semacam legen), untuk makanan yang
akan disajikan dalam upacara kenduri atau orasol
Dan
tahap-tahap yang harus dilalui oleh orang yang dalam hal ini si ibu hamil dalam
upacara pelet kandhung itu yakni:
1.
Tahap pijat
perut
Upacara ini diawali
dengan pembacaan ayat-ayat Al Quran (Surat Yusuf dan Maryam) oleh para undangan
laki-laki yang dipimpin oleh seorang Kyae. Dan selagi para lelaki itu membaca
Alquran di ruang tamu, di dalam bilik perempuan yang mengandung itu mulai
dilaksanakan prosesi pelet kandhung. Dukun baji mulai memelet atau memijat
bagian perut perempuan tersebut dengan menggunakan minyak kelapa. Maksud dari
tindakan ini adalah untuk mengatur posisi bayi di dalam kandungan. Dan
sementara dukun baji itu memijit perut perempuan hamil itu, secara bergiliran
sanak kerabat akan masuk kedalam bilik untuk mengusap perut si perempuan hamil
itu sembari memanjatkan doa agar si calon ibu dan bayinya selalu dilindungi
Tuhan sampai proses melahirkan kelak.
2.
Tahap penyepakan
ayam
Setelah upacara pijat
perut selesai, maka sang dukun baji ini akan membimbing si ibu hamil menuju
ayam yang diikat di kaki ranjang untuk di sepak sampai menimbulkan bunyi
“keok”. Ayam yang telah di sepak ini nantinya setelah upacara selesai akan
diberikan kepada dukun baji sebagai ucapan terima kasih sekaligus sebagai
pengurip
3.
Tahap
penginjakan telur dan kelapa muda
Setelah tahap
penyepakan ayam dilewati maka sang dukun baji pun kembali membimbing si ibu
hamil tadi menuju prosesi berikutnya yakni upacara penginjakan telur dan kelapa
muda. Dalam prosesi ini si ibu hamil terlebih dahulu diminta untuk memakai kain
putih untuk kemudian disuruh kaki kanannya menginjak kelapa muda, dan kaki kiri
menginjak telur. Yang unik dari prosesi ini adalah apabila telur yang diinjak
itu berhasil dipecahkan maka mereka meyakini bahwa anak yang bakal lahir nanti
berjenis kelamin laki-laki. Tapi bila tak berhasil dipecahkan maka si dukun
baji akan memungut telur tersebut untuk digelindingkan ke perut sang ibu hingga
menggelinding menyentuh tanah. Begitu telur itu pecah maka para undangan yang
hadir pun akan berseru “Jabing! Jabing!” yang berarti bahwa bayi yang akan
lahir kelak berjenis kelamin perempuan.
4.
Tahap ritual
dimandikan
Pada tahap ini ibu
hamil dimandikan oleh kerabat menggunakan air tertentu yang telah diberi
kembang setaman di kamar mandi atau halaman belakang. Sang dukun baji ini
pertama-tama akan mengambil gayung terbuat dari tempurung kelapa dan gagangnya
dari ranting pohon beringin yang masih ada daunnya, kemudian menaburkan kembang
setaman dan uang logam ke dalam air kongkoman dari periuk tanah, kemudian
mengambil air tersebut menggunakan gayung tadi lalu diguyurkan kepada si ibu
hamil. Selesai dukun baji barulah kemudian giliran kerabat dan handai taulan si
ibu hamil ikut memandikan menggunakan air yang sama tadi hingga air kongkoman
habis. Selesai dimandikan kemudian si ibu hamil ini pun akan dibawa kembali ke
dalam kamar untuk dirias dan dipakaikan baju paling bagus agar begitu si ibu hamil
di bawa keluar menemui tamu undangan para tamu akan berseru “Radin! Radin!”
yang berarti cantik.
Setelah itu, acara
diteruskan dengan penyerahan dua buah cengker yang telah digambari tokoh wayang
Arjuna dan Sembodro kepada Kyae untuk didoakan. Setelah selesai didoakan
barulah cengker itu kembali diserahkan kepada matowa bine untuk diletakkan di
tempat tidur menantu perempuannya yang sedang hamil itu hingga si perempuan
melahirkan bayinya.
Dan tahap terakhir
adalah pemberian jamu dek cacing towa untuk diminum si ibu hamil dan pemberian
nasi ponar dan telur rebus. Oh iya, setelah jamu dek cacing towa diminumkan
maka tempat jamu (cengkelongan) itu kemudian dilemparkan ke halaman. Masyarakat
Madura meyakini bahwa jika cengkolan tersebut jatuh terlentang maka bayi yang
akan lahir akan berjenis kelamin laki-laki dan sebaliknya.
5.
Tahap Orasol
atau kenduri
Pada tahap ini semua
tamu undangan akan diajak makan bersama dengan hidangan-hidangan khas upacara
pelet kandhung seperti Kue procut, juadah pasar (jajanan pasar), lemeng (ketan
yang dibakar dalam bambu), tettel (penganan yang terbuat dari ketan), minuman
cendol, la’ang dan bunga siwalan (semacam legen) dan sebagainya sebagai
ungkapan syukur kepada Tuhan sekaligus terimakasih kepada semua kerabat yang
telah ikut membantu terlaksananya upacara pelet kandhung ini.
Dengan
digelarnya orasol ini maka selesailah serangkaian upacara pelet kandhung ini.
Sikap
Bidan terhadap budaya di Madura:
a. Bidan
menghargai dan menghormati adat dan kebiasaan masyarakat setempat.
b. Bidan
mendukung pelaksanaan upacara adat yang tidak membahayakan ibu dan janinnya.
c. Bidan
mengarahkan kepada ibu, keluarga dan keluarga agar melakukan upacara adat yang
aman bagi ibu. Seperti mdalam upacara adat memandikan ibu, seharusnya ibu
dimandikan di ruang tertutup agar ibu tidak kedinginan dan menjaga privasi ibu.
d. Bidan
melakukan pmbekalan kepada dukun bayi
tentang penanganan yang benar pada ibu dan bayi.
FOLLOW
UP
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Adat didefinisikan sebagai aturan
(perbuatan) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala. Adat adalah
wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum,
dan aturan-aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi satu sistem
atau kesatuan. Sementara istiadat didefinisikan sebagai adat kebiasaan. Dengan
demikian, adat istiadat adalah himpunan kaidah-kaidah sosial yang sejak lama
ada dan telah menjadi kebiasaan (tradisi) dalam masyarakat.
Indonesia
merupakan negara dengan beribu adat istiadat. Dimana setiap adat berbeda antara
satu daerah dengan daerah yang lainnya. Setiap daerah memiliki ciri khas sesuai
kepercayaan yang dianut daerah tersebut. Begitu juga termasuk adat istiadat
dalam hal kehamilan wanita. Setiap daerah memiliki upacar adat tersendiri yang
dipercaya dapat menjadi tolak balak dan melindungi keselamatan ibu dan calon
bayi. Seperti di daeraah Jawa terdapat upacara tujuh bulanan yang disebut
dengan Mitoni, atau di daerah Makasar terdapat upacara tujuh
bulanan yang disebut dengan upacara Appasilli.
Dengan
adanya keunikan-keunikan tersebut, maka bidan diharapkan mampu menyesuaikan
diri terhadap adat dan kebiasaan tersebut dan mampu mengambil sikap sesuai
peran dan fungsi bidan untuk menekan angka kematian ibu dan bayi di daerah
tersebut.
B. SARAN
Bagi Dinas Kesehatan
a.
Mencanangkan program penyuluhan
untuk menambah pengetahuan masyarakat tentang perawatan kehamilan yang benar
b.
Bekerjasama dengan pemerintah dalam
penyediaan wadah untuk peningkatan ketrampilan para dukun agar dapat merawat
kehamilan ibu dan bayi dengan aman.
c.
Memberikan himbauan kepada
masyarakat tentang upacara apa saja yang berbahaya dan tidak berbahaya bagi
kesehatan.
Bagi Tokoh Masyarakat
a.
Pemerintah diharapkan memberikan fasilitas pada setiap
daerah di Indonesia berupa fasilitas kesehatan untuk menekan angka kematian
pada ibu dan anak.
b.
Menyediakan wadah bagi masyarakat terutama pada dukun
di daerah yang dipercaya untuk merawat ibu hamil untuk mendapatkan pelatihan
dan ketrampilan melalui dinas kesehatan.
Bagi Teman Sejawat
a.
Bekarja sama dengan bidan lainnya
untuk membantu perawatan ibu hamil di berbagai daerah sesuai dengan adat
istiadat daerah tersebut.
b.
Menumbuhkan sikap saling menghargai
terhadap perbedaan adat dan kebiasaan antar daerah di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Satria Loka Jaya.2016.https:/satrialokajaya.wordpress.com.Adat Istiadat Jawa pada Masa Kehamilan dan
Kelahiran anak. Dikutip pada tanggal 18 Februari 2018 pukul 16.00 WIB.
Dwi Suci.2016.https://bidandwisuci.wordpress.com.Adat Istiadat Kesehatan Ibu dan Bayi Suku
Bugis. Dikutip pada tanggal 18 Februari 2018 pukul 16.30 WIB.
Udhiexz.2008.https://udhiexz.wordpress.com. Upacara Mandi Hamil dalam Pandangan
Masyarakat Banjar. Dikutip pada tanggal 18 Februari 2018 pukul 16.30 WIB.
Salangit.https://salangit.wordpress.com.Adat Istiadat Upacara Adat Sunda.
Dikutip pada tanggal 18 Februari 2018 pukul 16.45 WIB.
Arsip
Budaya.2014.http://arsipbudayanusantara.blogspot.co.id.Upacara Pelet Kandhung pada Masyarakat. Dikutip pada tanggal 18
Februari 2018 pukul 17.00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar