Selasa, 13 Maret 2018

Upacara Adat Kehamilan Indonesia (ISBD)

Upacara Adat Kehamilan Indonesia
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar



Dosen Pengampu :
Kelompok :
1.     Aninda Desya Ramadani    (1317001)
2.     Dewi Octavia Saumananda (1317005)
3.     Diah Ayu Sulastri               (1317006)
4.     Dyah Retno Pangabean      (1317007)
5.     Fitri Purwaningsih              (1317011)
6.     Siti Intan Mia Kornalia       (1317013)
7.     Vivi Vitriani Setianingrum (1317019)

Akademi Kebidanan Bakti Utama Pati
Tahun Akademik 2017/2018



KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar khususnya dengan tema Berbagai Upacara Adat Kehamilan Indonesia.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terimakasih kepada :
1.      Dosen Pembimbing kami yang selalu memberikan dorongan, kritik dan masukan kepada kami.
2.      Teman-teman Akademi Kebidanan Bakti Utama Pati Tahun Akademik 2017/2018 yang selalu memberi semangat dan motivasi kepada kami
Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi. Kami menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini.
                                                                                              Pati, 15 Februari 2018
                                                                                                                                                Penyusun



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ 2
DAFTAR ISI...................................................................................................................... 3
BAB I PEDAHULUAN
a.       Latar Belakang........................................................................................................ 4
b.      Tujuan Penulisan...................................................................................................... 4
c.       Manfaat Penulisan................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
a.       Adat Istiadat pada Masa Kehamilan di Jawa.......................................................... 5
b.      Adat Istiadat pada Masa Kehamilan di Bugis........................................................ 7
c.       Adat Istiadat pada Masa Kehamilan di Banjar....................................................... 9
d.      Adat Istiadat pada Masa Kehamilan di Sunda....................................................... 17
e.       Adat Istiadat pada Masa Kehamilan di Madura..................................................... 19
BAB III PENUTUP
a.       Kesimpulan.............................................................................................................. 24
b.      Saran........................................................................................................................ 24
FOLLOW UP...................................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 26




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya merupakan suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Kebudayaan menurut Andreas Eppink, mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Pengertian Adat Istiadat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat didefinisikan sebagai aturan (perbuatan) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala. Adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi satu sistem atau kesatuan. Sementara istiadat didefinisikan sebagai adat kebiasaan. Dengan demikian, adat istiadat adalah himpunan kaidah-kaidah sosial yang sejak lama ada dan telah menjadi kebiasaan (tradisi) dalam masyarakat. Sebagai contoh, dalam masyarakat Jawa terdapat adat istiadat untuk melakukan upacara Selapanan ketika seorang bayi telah berumur 40 hari. Upacara ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat Jawa sejak lama.

B.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui tentang berbagai macam adat upacara kehamilan di Indonesia.
2.      Untuk memahami tata cara upacara adat dalam hal kehamilan di masyarakat.
3.      Untuk mengetahui bagaimana sikap bidan terhadap upacara adat kehamilan di dalam masyarakat.

C.    Manfaat Penulisan
1.      Untuk menambah wawasan dalam lingkup pengetahuan tentang upacara adat kehamilan di masyarakat.
2.      Untuk mengetahui sikap apa saja yang harus dilakukan bidan untuk menyikapi upacara adat di daerah tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Adat Istiadat Jawa Pada Masa Kehamilan
Kehamilan merupakan masa-masa yang tidak terlupakan bagi seorang ibu, di adat Jawa terdapat beberapa upacara saat prosesi kehamilan yang sudah turun-temurun diwariskan oleh nenek moyang, upacara-upacara tersebut antara lain sebagai berikut:
1.      Upacara Tiga Bulanan Upacara ini dilaksanakan pada saat usia kehamilan adalah tiga bulan. Di usia ini roh ditiupkan pada jabang bayi, biasanya upacara ini dilakukan berupa tasyakuran.
2.      Upacara Tingkepan atau Mitoni Upacara tingkepan disebut juga mitoni, berasal dari kata “pitu” yang berarti tujuh, sehingga upacara mitoni dilakukan pada saat usia kehamilan tujuh bulan, dan pada  kehamilan pertama. Dalam pelaksanaan upacara tingkepan, ibu yang sedang hamil tujuh bulan dimandikan dengan air kembang setaman, disertai dengan doa-doa khusus. Berikut ini adalah tata cara pelaksanan upacara tingkepan antara lain:
a.       Siraman dilakukan oleh sesepuh sebanyak tujuh orang. Bermakna mohon doa restu supaya suci lahir dan batin. Setelah upacara siraman selesai, air kendi tujuh mata air dipergunakan untuk mencuci muka, setelah air dalam kendi habis, kendi dipecah.
b.      Memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain (sarung) calon ibu oleh suami melalui perut sampai pecah, hal ini merupakan harapan supaya bayi lahir dengan lancar tanpa suatu halangan.
c.       Berganti nyamping sebanyak tujuh kali secara begantian, disertai kain putih. Kain putih sebagai dasar pakaian pertama, yang melambangkan bayi yang akan dilahirkan adalah suci, dan mendapat berkah dari Tuhan YME. Diiringi dengan pertanyaan “sudah pantas atau belum” sampai ganti enam kali dijawab oleh ibu-ibu yang hadir “belum pantas” sampai yang terakhir ke tujuh kali dengan kain sederhana dijawab “pantas”. Adapun nyamping yang dipakaikan secara urut dan bergantian berjumlah tujuh dan diakhiri dengan motif yang paling sederhana, urutannya adalah sebagai berikut: Sidoluhur, Sidomukti, Truntum, Wahyu Tumurun, Udan Riris, Sido Asih, Lasem sebagai kain, Dringin sebagai kemben.

Beberapa Pantangan Dalam Prosesi Kehamilan Adat Jawa
Berikut ini adalah pantangan bagi calon ibu dan calon ayah menurut tradisi Jawa, antara lain sebagai berikut:
1.      Ibu hamil dan suaminya dilarang membunuh binatang, sebab jika itu dilakukan bisa menimbulkan cacat pada janin sesuai dengan perbuatannya itu.
2.      Membawa gunting kecil / pisau / benda tajam lainnya di kantung baju si ibu agar janin terhindar dari marabahaya.
3.      Ibu tidak boleh keluar malam, karena banyak roh jahat yang akan mengganggu janin.
4.      Ibu hamil dilarang melilitkan handuk di leher agar anak yang dikandungnya tidak dililit tali pusar.
5.      Ibu hamil tidak boleh benci kepada sesorang secara berlebihan, nanti anaknya jadi mirip seperti orang yang dibenci tersebut.
6.      Ibu hamil tidak boleh makan pisang yang dempet, nanti anaknya jadi kembar siam.
7.      “Amit-amit” adalah ungkapan yang harus diucapkan sebagai “dzikir”-nya orang hamil ketika melihat peristiwa yang menjijikan, mengerikan, mengecewakan dan sebagainya sebagai harapan janin terhindar dari kejadian tersebut.
8.      Ngidam adalah perilaku khas perempuan hamil yang menginginkan sesuatu, makanan atau sifat tertentu terutama diawal kehamilannya. Jika tidak dituruti maka anaknya akan mudah mengeluarkan air liur.
9.      Dilarang makan nanas, nanas dipercaya dapat menyebabkan janin dalam kandungan gugur.
10.  Jangan makan ikan mentar agar bayi tidak bau amis.
11.  Untuk sang ayah dilarang mengganggu, melukai, bahkan membunuh hewan. Contohnya memancing, membunuh hewan, memburu, dan lain-lain. Serta masih banyak pantangan-pantangan lain yang harus dihindari oleh calon ibu maupun ayah. Namun sebenarnya pantangan-pantangan tersebut dapat dinalar apabila ditelaah menurut ilmu pengetahuan, hanya saja beberapa kemungkinan tidak tertuju langsung dengan keberlangsungan hidup si jabang bayi kelak.
(Satria Loka Jaya.2016.http://www.wordpress.com.Adat Istiadat Jawa pada Masa Kehamilan dan Kelahiran anak).




Sikap Bidan terhadap budaya di Jawa:
a.       Menghargai dan menghormati adat yang telah dilaksanakan secara turun termurun.
b.      Mendukung adat dan kebiasaan yang tidak membahayakan ibu dan janin.
c.       Jika terdapat adat yang membahayakan ibu dan janin, maka bidan tidak boleh menunjukkan sikap yang dapat menyinggung masyarakat setempat.
d.      Bidan memberikan KIE mengenai apa saja yang bisa membahayakan kehidupan ibu dan janin.

B.     Adat Istiadat Suku Bugis Pada Masa Kehamilan
1.      Makkatenni sanro (menghubungi dukun).
Upacara penyampaian kepada dukun yang telah dipilih berdasarkan musyawarah kedua keluarga, atau nasehat dari masyarakat dan orang tua. Jika pemilihan dukun disetujui maka dukun tersebut akan diberikan kepercayaan untuk merawat ibu dan anaknya nanti.
2.      Mappanre to-mangideng (menyuapi ibu hamil).
Adalah upacara yang dilakukan pada bulan pertama masa kehamilan, atau dalam suku bugis disebut mangideng atau ngidam. Biasanya dilalui dengan berbagai macam acara. Selain itu diberikan pantangan untuk makan makanan tertentu dan melakukan perbuatan tertentu, baik untuk calon ibu maupun calon ayah.
3.      Upacara tujuh bulan kehamilan
Dalam bahasa Bugis Bone disebut Mappassili, yang artinya memandikan. Makna upacara ini adalah untuk tolak bala atau menghindari dari malapetaka atau bencana, menjauhkan dari roh-roh jahat sehingga segala kesialan hilang dan lenyap. Berikut ini merupakan tahapan dari upacara tujuh bulan kehamilan:
a.    Calon ibu yang hamil tujuh bulan dari pasangan muda ini harus melewati sebuah anyaman bambu yang disebut Sapana yang terdiri dari tujuh anak tangga, memberi makna agar rezeki anak yang dilahirkan bisa naik terus seperti langkah kaki menaiki tangga.
b.    Iring-iringan pasangan muda (suami-istri), dalam pakaian adat Bugis menuju sebuah rumah-rumahan yang terbuat dari bambu dengan hiasan bunga dan pelaminan yang meriah oleh warna-warna yang mencolok. Sebelumnya, Upacara Mappassili diawali dengan membacakan doa-doa yang diakhiri oleh surat Al-Fatihah oleh seorang ustadzah. Bunyi tabuh-tabuhan dari kuningan yang dipegang oleh seorang bocah laki-laki mengiringi terus upacara ini.
c.       Kemudian upacara ini dipimpin oleh seorang dukun. Ia mengambil tempat pembakaran dupa dan diputar-putarkan di atas kepala sang ibu. Asap dupa yang keluar, diusap-usapkan di rambut calon ibu tersebut. Perbuatan ini memberi makna untuk mengusir roh-roh jahat yang bisa mengganggu kelahiran bayi. Menurut kepercayaan mereka, roh jahat itu terbang bersama asap dupa.
d.      Calon ibu di perciki air dengan menggunakan beberapa helai daun ke bagian tubuh tertentu, mulai dari atas kepala, bahu, lalu turun ke perut. Bahu menyimbolkan agar anak punya tanggung jawab yang besar dalam kehidupannya. Demikian pula tata cara percikan air dari atas kepala turun ke perut, tak lain agar anaknya nanti bisa meluncur seperti air, mudah dilahirkan dan kehidupannya lancar bagai air. Calon ibu mengenakan pakaian adat Bone yang berwarna merah.
e.       Dilanjutkan dengan upacara makarawa babua yang berarti memegang atau mengelus perut. Pernik-pernik pelengkap upacara ini lebih meriah lagi ditambah lagi dengan beraneka macam panganan yang masing-masing memiliki simbol tertentu.
f.       Calon ibu yang telah berganti pakaian adat Bone berwarna merah ditidurkan di tempat pelaminan. Sang dukun akan mengelus perut calon ibu tersebut dan membacakan doa. Selanjutnya daun sirih yang ditaburi beras diletakkan di kaki, perut, kening kepala calon ibu dimaksudkan agar pikiran ibu tetap tenang, tidak stress. Diletakkan di bagian kaki sebagai harapan agar anak melangkahkan kakinya yang benar. Sementara beras sebagai perlambang agar anak tak kekurangan pangan. Seekor ayam jago sengaja diletakkan di bawah kaki calon ibu. Bila ternyata ayam tersebut malas mematuk beras, menurut mereka ini pertanda anak yang akan lahir perempuan.
g.      Tahap akhir upacara tujuh bulan Bugis Bone ini adalah suap-suapan yang dilakukan oleh dukun, pasangan tersebut (sebagai calon bapak dan ibu) dan orang tua keduanya. Acara ditutup dengan rebutan hiasan anyaman berbentuk ikan dan berisi telur bagi ibu-ibu yang memiliki anak gadis atau yang sudah menikah. Ini sebagai perlambang agar anak-anaknya segera mendapat jodoh yang baik, dan nantinya melahirkan dengan mudah.
(Dwi Suci.2016.https://bidandwisuci.wordpress.com.Adat Istiadat Kesehatan Ibu dan Bayi Suku Bugis)


Sikap Bidan terhadap budaya suku bugis:
a.       Bidan harus memiliki sikap toleransi dan menghargai adat kehamilan di suku bugis.
b.      Bidan memberikan pengetahuan dan pelatihan kepada dukun tentang asuhan yang benar dalam kehamilan.
c.       Bidan bekerjasama dengan dukun untuk mendampingi si ibu dalam masa kehamilan dan persalinannya agar si ibu lebih tenang.
d.      Bidan harus memastikan bahwa rangkaian upacara adat yang dilakukan tidak berbahaya bagi ibu hamil.
e.       Bidan bekerjasama dengan tokoh masyarakat untuk memberi pengetahuan tentang pentingnya persalinan yang difasilitasi oleh tenaga kesehatan untuk mengurangi angka kematian.

C.    Adat Istiadat Banjar (Kalimantan Selatan) Pada Masa Kehamilan
1.      Upacara Mendapatkan Keselamatan
Wanita yang hamil pertama kali (tian mandaring) harus diupacara mandikan. Keharusan melakukan upacara mandi hamil ini konon hanyalah berlaku bagi wanita nag turun temurun melakukan upacara ini. Seorang wanita yang keturunannya seharusnya tidak mengharuskan dilakukannya upacara itu, tetapi karena kondisi si bayi dalam kandungan mengharuskannya melalui ayahnya, si wanita itu harus pula menjalaninya. Jika tidak konon wanita itu dapat dipingit, sehingga umpamanya si bayi lambat lahir dan akibatnya ia sangat menderita karenanya.
Dalam kehidupan masyarakat Banjar yang masih terikat akan tradisi lama, apabila seseorang wanita yang sedang hamil untuk kali pertamanya, ketika usia kehamilan mencapai tiga bulan atau pada kehamilan tujuh bulan maka diadakanlah suatu upacara dengan maksud atau tujuan utama untuk menolak bala dan mendapatkan keselamatan. Karena menurut kepercayaan sebagian masyarakat Banjar, bahwa wanita yang sedang hamil tersebut suka diganggu mahluk-mahluk halus yang jahat.
Upacara ini juga mempunyai maksud dan tujuan untuk keselamatan bagi ibu yang sedang hamil serta keselamatan bagi seluruh keluarganya. Bagi masyarakat Banjar Hulu Sungai khususnya, menganggap bahwa angka ganjil seperti 3, 7 dan 9 bagi yang hamil merupakan saat-saat yang dianggap sakral. Bukankah kelahiran sering terjadi pada bulan ke7 dan bulan ke-9? Dan menurut kepercayaan mereka bahwa roh-roh halus dan hantu selalu berusaha mengganggu si ibu dan dan bayi dalam kandungan, karena menurut mereka bahwa wanita hamil 3 bulan itu baunya harum.
Pada masyarakat Banjar Batang Banyu telah diketahui ada suatu upacara yang disebut “Batapung Tawar Tian (hamil) Tiga Bulan”, menyusul kemudian dilaksanakan upacara mandi “Tian Mandaring” ketika kehamilan telah berusia tujuh bulan. Tetapi pada masyarakat Banjar Kuala sampai saat ini hanya mengenal dan melakukan upacra mandi “Tian Mandaring” atau sering pula disebut upacara mandi “Bapagar Mayang”. Dikatakan demikian karena upacara tersebut dikelilingi oleh benang yang direntangkan dari tiang ke tiang tersebut di tebu (manisan) serta tombak (bila ada), sehingga merupakan ruang persegi empat pada benang-benang tersebut disangkutkan mayang-mayang pinang dan kelengkapan lainnya. Adapun tata pelaksanaan upacara “Mandi Tian Mandaring” ini akan dikupas pada pembahasan selanjutnya.
Upacara mandi dengan bepagar mayang ini kebanyakan dilaksanakan oleh kelompok, tutus bangsawan atau tutus candi, tetapi pada kebanyakan rakyat biasa atau orang yang tidak mampu tetapi ingin melaksanakan upacara in, maka pelaksanaan cukup sederhana saja tanpa menggunakan pagar mayang.
Selain upacara yang berupa mandi tersebut, adapula beberapa upaya yang diusahakan oleh para orang tua untuk anak atau menantunyayang sedang hamil sebagai wujud sebuah pengharapan dari seluruh keluarga agar ibu yang akan melahirkan kelak selamat dan tidak ada gangguan pada saat persalinan (kada halinan) serta anak yang lahir sempurna keadaannya. Upaya-upaya tersebut antara lain:
a.         Mengingatkan anak menantunya yang sedang hamil untuk menghindari dari hal-hal yang bersifat pantangan (tabu).
b.        Memberikan doa atau bacaan al-Qur’an untuk dijadikan amalan selama masa kehamilan.
c.         Meminta air (banyu tawar) yang telah dibacakan doa-doa dari seorang tabib atau orang pintar.
2.      Hal-hal yang Berupa Pantangan
Sebagian dari kelompok masyarakat yang masih memakai adat tradisi lama, hal-hal yang bersifat pantangan atau pamali masih mereka yakini, namun sebagiannya tidak memperdulikan hal-hal yang bersifat pantangan tersebut. Sebab sebagian beranggapan bahwa hal-hal yang seperti tidak masuk akal (mustahil) dapat mempengaruhi kehamilan. Hal-hal yang berupa pantangan tersebut antara lain:
a.         Tidak boleh duduk di depan pintu, dikhawatirkan akan susah melahirkan.
b.        Tidak boleh keluar rumah pada waktu senja hari menjelang waktu maghrib, dikhawatirkan kalau diganggu mahluk halus atau roh jahat.
c.         Tidak boleh makan pisang dempet, dikhawatirkan anak yang akan dilahirkan akan kembar dempet atau siam.
d.        Jangan membelah puntung atau kayu api yang ujungnya sudah terbakar, karena anak yang dilahirkan bisa sumbing atau anggota badannya ada yang buntung.
e.         Jangan meletakan sisir di atas kepala, ditakutkan akan susah saat melahirkan.
f.         Dilarang pergi ke hutan, karena wanita hamil menurut kepercayaan mereka baunya harum sehingga mahluk-mahluk halus dapat mengganggunya.
g.        Dilarang menganyam bakul karena dapat berakibat jari-jari tangannya akan berdempet menjadi satu.
Pantangan-pantangan tersebut di atas bukan hanya pada si calon ibu saja, tetapi juga berlaku terhadap suaminya.
3.      Pemeliharaan Kehamilan dan Keselamatan
Cara pemeliharaan kehamilan tidaklah berbeda dengan wanita-wanita dari suku lain. Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas) banyak mereka kunjungi untuk memeriksa kehamilan. Selain itu pemeriksaan kehamilan secara tradisional pun mereka lakukan yaitu dengan cara:
a.         Melakukan pijatan atau dengan istilah Banjar “Baurut” pada seorang dukun beranak atau bidan kampung yang ahli dalam bidang pijatan (urut).
b.        Membatasi diri untuk tidak terlalu suka minum air es.
c.         Memperbanyak makan sayur dan buah-buahan.
d.        Jika perut terasa sakit karena masuk angin, oleh bidan kampung disuruh meminum air rebusan gula merah dengan jahe (tipakan).
e.         Jika kaki bengkak, maka digosok dengan wadak panas atau ramuan beras kencur.
4.      Upacara Mandi Hamil
a.    Nama Upacara dan Tahap-tahapnya.
Berbagai nama bagi upacara mandi hamil ialah: mandi-mandi matian, mandi baya, mandi bepapai dan badudus. Dinamakan mandi baya karena menggunakan antara lain banyu baya, air yang disiapkan oleh bidan khusus untuk keperluan tersebut. Dinamakan bapapai karena memapai, yaitu memercikan air dengan berkas daun-daunan, merupakan salah satu acara pokok dalam upacara ini. Badudus ialah istilah lain bagi upacara mandi (bandingkan dengan duduk dalam ras.1968: Glosary dan Index), demikian pula mandi-mandi atau bamandi-mandi. Tambahan kata batian pada istilah mandi-mandi untuk membedakannya dengan upacara mandi lainnya (hamil, batian, memperoleh hamil). Kata baya dalam ungkapan banyu baya dan mandi baya tidak jelas artinya.
Untuk mengetahui makna atau pengertian, baiklah kita lihat atau kita tinjau dari pengertian istilah atau nama dari upacara ini, yaitu “Betapung Tawar Tian Tiga Bulan”. Betapung berasal dari kata tapung dalam bahasa Banjar maksudnya mengikat atau mendekatkan antara satu benda dengan benda yang lain. “Ba” adalah satu awalan dalam bahasa Banjar, di mana digunakan untuk menunjukan pekerjaan dan berfungsi sebagai penegas dari kata tapung. Sedangkan tawar berarti terang atau selamat. Sedangkan tian maksudnya adalah kehamilan atau hamil atau kandungan yang berada dalam rahim ibu yang sedang mengandung.
Oleh Karena itu Batapung Tawar Tian Tiga Bulan berarti suatu upacara yang bertujuan untuk mendapatkan keselamatan bagi wanita yang sedang hamil atau mengandung tiga bulan.
Secara kata atau istilah berarti bahwa Batapung Tawar Tian Tiga Bulan ialah memercikan air tepung tawarkepada wanita yang sedang hamil tiga bulan.
b.    Waktu Penyelenggaraan Upacara
Upacara mandi ini harus dilaksanakan pada umur kehamilan tujuh bulan atau tidak lama sesudahnya. Upacara mandi ini harus dilaksanakan pada waktu turun bulan, khususnya pada hari-hari dalam minggu ke tiga bulan Arab. Apabila karena sesuatu hal upacara mandi tidak dapat dilaksanakan pada waktu tersebut, pelaksanaannya ditunda pada bulan berikutnya. Juga upacara ini harus dilaksanakan pada waktu turun matahari, upacara ini biasanya dilakukan sekitar jam 14.00 dan tidak pernah setelah jam 16.00. Secara darurat upacara mandi ini pernah dilaksanakan di Dalam Pagar, yaitu pada saat si wanita sudah hampir melahirkan. Si wanita ini sudah lama sakit akan melahirkan, dan oleh bidan yang menolongnya dinyatakan bahwa meskipun si wanita bukan keturunan yang harus melakukan upacara itu, tetapi si bayi mengharuskannya melalui ayahnya. Oleh karena itu upacara mandi secara darurat dilaksanakan, yaitu hanya sekedar menyiram dan memerciki si ibu dengan banyu baya. Segera setelah selesai dimandikan tersebut konon lahirlah bayinya.


c.    Tempat Penyelenggaraan Upacara
Para informan di Dalam Pagar menyatakan upacara ini harus dilaksankan di dalam pagar mayang. Pada upacara yang berhasil diamati di Akar Bagantung dan Teluk Selong (1979), pagar mayang memang digunakan, tetapi pada upacara mandi yang dilaksanakan di Dalam Pagar (1980) tidak dibangun pagar mayang, melainkan cukup dilaksanakan di atas palatar belakang.
d.   Pihak yang Terlibat dalam Upacara
Pihak yang terlibat dalam upacara ini di antaranya:
                                1.     Orang tua dari kedua belah pihak baik itu ibu kandung atau ibu mertua.
                                2.     Saudara-saudara, kerabat-kerabat seperti julak (saudara ibu), uma kacil (adik ibu)   dan begitu pula dari pihak mertua.
                                3.     Di pimpin oleh bidan kampong (dukun beranak) dan Tuan Guru (mualim) yang    membacakan doa selamat setelah upacara berakhir.
Selain pihak-pihak di atas masih ada yang terlibat dalam upacara tersebut, yakni para undangan yaitu wanita-wanita tetangga dan kerabat dekat, umumnya terdiri dari ibu-ibu muda dan wanita-wanita muda yang sudah kawin. Wanita-wanita tua yang hadir biasanya adalah mereka yang banyak tahu tentang upacara ini atau karena diperlukan untuk membantu bidan melaksanakannya.
e.    Persiapan dan Perlengkapan Upacara
Upacara mandi hamil mengharuskan tersedianya 40 jenis penganan atau “wadai ampat puluh”. Mungkin sebenarnya berjumlah 41, atau bahkan lebih. Wadai 40 ini terdiri dari: apam (putih dan merah), cucur (putih dan merah), kawari, samban, tumpiangin (sejenis rempeyek di Jawa, tetapi kali ini tidak menggunakan kacang tanah melainkan kelapa iris), cicin (cincin, perhiasan dipakai di jari, dua jenis dan tiga warna), parut hayam (perut lilit ayam, tiga warna), sarang samut (sarang semut, tiga warna), cangkaruk (cengkaruk), ketupat (empat jenis), nasi ketan putih (dengan inti di atasnya), wajik, kokoleh (putih dan merah), tapai, lemang, dodol, madu kasirat(sejenis dodol tapi masih muda), gagati (empat jenis), dan sesisir pisang mahuli.
Sedangkan hidangan untuk para tamu ialah nasi ketan (dengan inti) dan apam dari wadai 40 ini, tetapi bisa juga ketupat dan sayur tumis ditambah dengan nasi ketan, atau hidangan lainnya. Tetapi di Anduhum konon kadang-kadang ada keharusan (dahulu) menghidangkan bubur ayam, yang mungkin mengandung perlambang tertentu pula. Dapat diduga meskipun terdapat kesamaan dalam jumlah jenis penganan yang harus dihidangkan pada upacara mandi hamil di Martapura namun terdapat perbedaan tentang keharusan adanya jenis-jenis penganan tertentu tergantung pada kerabat yang melaksanakannya. Pada upacara mandi yang diamati di Dalam Pagar terdapat detail-detail seperti yang akan dijelaskan di bawah ini.
Kue apam dan cucur, masing-masing berwarna merah dan putih, adalah kue-kue yanag biasa dipergunakan sebagai syarat upacara batumbang, yang dilaksanakan setelah upacara mandi selesai. Kue samban dan kawarimerupakan lambang jenis kelamin bayi yang akan lahir. Samban melambangkan jenis kelamin perempuan dankawari melambangkan jenis kelamin pria. Apam, cucur, kokoleh, wajik, nasi ketan, dodol dan madu kasiratmerupakan kue-kue yang harus ada karena menggunakan air sungai Kitanu. Nasi ketan kuning dan telur rebus di atasnya merupakan sajian untuk buaya kuning yang konon (dahulu) menghuni sebuah lubuk dekat balai padudusan di tepi sungai Kitanu. Kue gagati jumlahnya harus sembilan dan ketupat jumlahnya harus tujuh. Tidak berhasil diungkapkan untuk siapa disajikan dan mengapa harus sembilan dan tujuh, sedangkan kue-kue lainnya tidak harus demikian.
Di Dalam pagar mayang, atau di tempat upacara mandi akan dilaksanakan, diletakan perapen, dan berbagai peralatan mandi. Sebuah tempayan atau bejana plastik berisi air tempat merendam mayang pinang (terurai), beberapa untaian bunga (kembang berenteng), sebuah ranting kambat, sebuah ranting balinjuang dan sebuah ranting kacapiring. Sebuah tempat air yang lebih kecil berisi banyu baya, yaitu air yang dimantrai oleh bidan, sebuah lagi berisi banyu Yasin, yaitu air yang dibacakan surah Yasin, yang sering dicampuri dngan banyu Burdah yaitu air yang dibacakan syair Burdah. Selain itu pada pengamatan di Dalam Pagar, terdapat sebuah gelas berisi air (banyu) sungai Kitanu. untuk keperluan mandi ini terdapat juga kasai (bedak, param) temugiringdan keramas asam jawa atu jeruk nipis. Dahulu, sebagai tempat duduk si wanita hamil itu diletakan sebuahkuantan (sejenis panci terbuat dari tanah yang diletakan tengkurap dan di atasnya diletakan bamban (bamban bajalin). Merupakan alat mandi pula ialah mayang pinang yang masih dalam seludangnya, kelapa tumbuh (berselimut kain kuning), benang lawai dan kelapa muda.
Untuk keperluan mandi hamil diperlukan dua buah piduduk. Sebuah akan diserahkan kepada bidan yang memimpin upacara dan yang membantu proses kelahiran, dan sebuah lagi sebagai syarat upacara. Yang pertama dilengkapi dengan rempah-rempah dapur, sedangkan yang sebuah lagi termasuk di dalamnya alat-alat yang diperlukan untuk melahirkan, ayam, pisau dan sarung berwarna kuning. Konon jenis kelamin ayam harus sesuai denagn jenis kelamin bayi yang akan lahir, sehingga praktis tidak mungkin disediakan, dan demikian pula alat-alat yang diperlukan untuk melahirkan biasanya juga belum tersedia, namun harus tegas dinyatakan sebagai ada. Bagian dari piduduk yang belum tersedia ini dikatakan sebagai “dihutang”, sebagai syarat menyediakan barang yang belum ada ini harus disediakan nasi ketan dengan inti, yang dihidangkan kepada hadirin setelah upacara selesai.
f.     Proses Upacara
Berikut upacara mandi yang terjadi di Teluk Selong, sebuah kampung yang terletak bersebrangan sungai dengan Dalam Pagar.
Wanita hamil yang diupacarakan memakai pakaian yang indah-indah dan memakai perhiasan, duduk di ataslapik di ruang tengah sambil memangku sebiji kelapa tumbuh yang diselimuti kain kuning menghadapi sajianwadai ampat puluh. Setelah beberapa lama duduk dengan disaksikan oleh para undangan wanita, perempuan hamil itu turun ke pagar mayang sambil menggendong kelapa tumbuh tadi. Ketika ia turun ke pagar mayang, ia menyerahkan kelapa yang digendongnya kepada orang lain, bertukar pakaian dengan kain basahan kuning sampai batas dada, lalu duduk di atas bamban bajalin, sedemikian sehingga kuantan tanah langsung remuk. Para wanita tua yang membantunya mandi (jumlahnya selalu ganjil, sekurang-kurangnya tiga dan paling banyak tujuh orang dan seorang di antaranya bertindak sebagi pemimpinnya, yaitu biasanya bidan) menyiraminya dengan air bunga, membedakinya dengan kasai temugiring lalu mengeramasinya.
Selanjutnya para pembantunya itu berganti-ganti mamapaikan berkas mayang, berkas daun balinjuang dan berkas daun kacapiring kepadanya dan kadang-kadang juga kepada hadirin di sekitarnya. Proses berikutnya ialah menyiramkan berbagai air lainnya, yaitu banyu sungai Kitanu, banyu baya, yang telah dicampur dengan banyu Yasin atau banyu doa, dan banyu Burdah. Setiap kali disiram dengan air-air tersebut, si wanita hamil diminta untuk menghirupnya sedikit. Sebuah mayang pinang yang masih belum terbuka dari seludangnya diletakkan di atas kepala wanita hamil tersebut lalu ditepuk, diusahakan sekali saja sampai pecah. Mayang dikeluarkan dari seludangnya lalu diletakkan di atas kepala wanita hamil dan disirami dengan air kelapa muda tiga kali berturut-turut dengan posisi mayang yang berbeda-beda. Kali ini juga airnya harus dihirup oleh wanita hamil itu.
Kemudian diambil dua tangkai mayang dan diselipkan di sela-sela daun telinga si wanita hamil masing-masing sebuah. Lalu dua orang perempuan tua membantunya meloloskan lawai dari kepala sampai ke ujung kaki, tiga kali berturut-turut. Untuk melepaskan lawai dari kakinya, pada kali yang pertma ia melangkah ke depan, kali yang ke dua melangkah ke belakang dan terakhir kembali melangkah ke depan.
Sesudah itu badannya dikeringkan dan ia berganti pakaian lalu keluar dari pagar mayang. Di luar telah tersedia sebiji telur ayam yang harus dipijakinya ketika melewatinya. Ketika ia keluar untuk kembali ke ruang tengah ini dibacakan pula shalawat berramai-ramai. Di ruang tengah si wanita hamil itu kembali duduk di atas lapik di hadapan tamu-tamu, disisiri dan disanggul rambutnya. Pada saat itu juga di tepung tawari, yaitu dipercikanminyak likat beboreh dengan anyaman daun kelapa yang dinamakan tepung tawar.
Setelah itu lalu batumbang dibacakan doa selamat oleh salah seorang hadirin. Sementara itu si wanita hamil menyalami semua wanita yang hamil menyalami semua wanita yang hadir, lalu masuk ke dalam kamarnya. Setelah itu hidangan pokok diedarkan dan kemudian ditambah dengan hidangan tambahan berupa nasi ketan (dengan inti), apam, cucur dan kue-kue lainnya yang sebelumnya dipamerkan sebagai saji. Sebagian kue saji harus disiapkan untuk dibawa pulang oleh bidan dan perempuan-perempuan tua yang tadi membantu si wanita hamil itu mandi.
g.    Arti Lambang dan Makna di Balik Upacara
Dalam upacara mandi ini dilambangkna kelancaran proses kelahiran dengan berbagai cara, yaitu:
                                1.     Pecahnya kuantan tanah ketika diduduki melambangkan pecahnya ketuban.
                                2.     Pecahnya mayang dengan sekali tepuk saja menandakan proses kelahiran akan berjalan dengan lancar, tetapi bila perlu ditepuk beberapa kali agar pecah, konon menandakan proses kelahiran akan terganggu (halinan baranak), meskipun diharapkan akan berakhir dengan selamat juga.
                                3.     Proses kelahiran diperagakan dengan meloloskan lawai pada tubuh si wanita mengisyaratkan mudahnya proses itu.
                                4.     Pecahnya telur ketika dipijak juga melambangkan prose kelahiran yang cepat pula.
                                5.     Kelapa tumbuh yang dipangku dan kemudian digendong melambangkaan bayi.
                                6.     Memerciki dengan tepung tawar ialah guna memberkatinya.
                                7.     Dan batumbang konon akan memperkuat semangatnya.
Sikap Bidan terhadap budaya di Banjar:
a.       Bidan menghargai dan menghormati adat dan kebiasaan masyarakat setempat.
b.      Bidan mendukung pelaksanaan upacara adat yang tidak membahayakan ibu dan janinnya.
c.       Dalam adat pemeliharaan kesehatan dan keselamatan, bidan harus memberi pengertian bahwa selama dalam masa kehamilan, dukun tidak diperkenankan untuk memijat bagian perut si ibu.
d.      Bidan memberikan pelatihan kepada dukun tentang bagaimana cara melakukan perawatan yang benar tehadap ibu hamil.
e.       Karena masyarakat setempat masih sangat bergantung pada dukun, maka bidan harus bekerjasama dengan tokoh masyarakat untuk memberikan penyuluhan bahwa wanita hamil harus juga ditangani oleh bidan atau tenaga kesehatan yang berkompetensi.

D.    Adat Istiadat Sunda Pada Masa Kehamilan
1.    Upacara Mengandung Empat Bulan
Dulu Masyarakat Jawa Barat apabila seorang perempuan baru mengandung 2 atau 3 bulan belum disebut hamil, masih disebut mengidam. Setelah lewat 3 bulan barulah disebut hamil. Upacara mengandung Tiga Bulan dan Lima Bulan dilakukan sebagai pemberitahuan kepada tetangga dan kerabat bahwa perempuan itu sudah betul-betul hamil.
Namun sekarang kecenderungan orang-orang melaksanakan upacara pada saat kehamilan menginjank empat bulan, karena pada usia kehamilan empat bulan itulah saat ditiupkannya roh pada jabang bayi oleh Allah SWT. Biasanya pelaksanaan upacara Mengandung empat Bulan ini mengundang pengajian untuk membacakan do’a selamat, biasanya doa nurbuat dan doa lainnya agar bayinya mulus, sempurna, sehat, dan selamat.
2.    Upacara Mengandung Tujuh Bulan/Tingkeban
Upacara Tingkeban adalah upacara yang diselenggarakan pada saat seorang ibu mengandung 7 bulan. Hal itu dilaksanakan agar bayi yang di dalam kandungan dan ibu yang melahirkan akan selamat. Tingkeban berasal dari kata tingkeb artinya tutup, maksudnya si ibu yang sedang mengandung tujuh bulan tidak boleh bercampur dengan suaminya sampai empat puluh hari sesudah persalinan, dan jangan bekerja terlalu berat karena bayi yang dikandung sudah besar, hal ini untuk menghindari dari sesuatu yang tidak diinginkan. Di dalam upacara ini biasa diadakan pengajian biasanya membaca ayat-ayat Al-Quran surat Yusuf, surat Lukman dan surat Maryam.
Di samping itu dipersiapkan pula peralatan untuk upacara memandikan ibu hamil , dan yang utama adalah rujak kanistren yang terdiri dari 7 macam buah-buahan. Ibu yang sedang hamil tadi dimandikan oleh 7 orang keluarga dekat yang dipimpin seorang paraji secara bergantian dengan menggunakan 7 lembar kain batik yang dipakai bergantian setiap guyuran dan dimandikan dengan air kembang 7 rupa. Pada guyuran ketujuh dimasukan belut sampai mengena pada perut si ibu hamil, hal ini dimaksudkan agar bayi yang akan dilahirkan dapat berjalan lancar (licin seperti belut). Bersamaan dengan jatuhnya belut, kelapa gading yang telah digambari tokoh wayang oleh suaminya dibelah dengan golok. Hal ini dimaksudkan agar bayi yang dikandung dan orang tuanya dapat berbuat baik lahir dan batin, seperti keadaan kelapa gading warnanya elok, bila dibelah airnya bersih dan manis. Itulah perumpamaan yang diharapkan bagi bayi yang dikandung supaya mendapatkan keselamatan dunia-akhirat
Sesudah selesai dimandikan biasanya ibu hamil didandani dibawa menuju ke tempat rujak kanistren tadi yang sudah dipersiapkan. Kemudian sang ibu menjual rujak itu kepada anak-anak dan para tamu yang hadir dalam upacara itu, dan mereka membelinya dengan menggunakan talawengkar, yaitu genteng yang sudah dibentuk bundar seperti koin. Sementara si ibu hamil menjual rujak, suaminya membuang sisa peralatan mandi seperti air sisa dalam jajambaran, belut, bunga, dsb. Semuanya itu harus dibuang di jalan simpang empat atau simpang tiga. Setelah rujak kanistren habis terjual selesailah serangkaian upacara adat tingkeban.
3.    Upacara Mengandung Sembilan Bulan
Upacara sembuilan bulan dilaksanakan setelah usia kandungan masuk sembilan bulan. Dalam upacara ini diadakan pengajian dengan maksud agar bayi yang dikandung cepat lahir dengan selamat karena sudah waktunya lahir. Dalam upacara ini dibuar bubur lolos, sebagai simbul dari upacara ini yaitu supaya mendapat kemudahan waktu melahirkan, lolos. Bubur lolos ini biasanya dibagikan beserta nasi tumpeng atau makanan lainnya.
4.    Upacara Reuneuh Mundingeun
Upacara Reuneuh Mundingeun dilaksanakan apabila perempuan yang mengandung lebih dari sembilan bulan,bahkan ada yang sampai 12 bulan tetapi belum melahirkan juga, perempuan yang hamil itu disebut Reuneuh Mundingeun, seperti munding atau kerbau yang bunting. Upacara ini diselenggarakan agar perempuan yang hamil tua itu segera melahirkan jangan seperti kerbau, dan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Pada pelaksanaannya leher perempuan itu dikalungi kolotok dan dituntun oleh indung beurang sambil membaca doa dibawa ke kandang kerbau. Kalau tidak ada kandang kerbau, cukup dengan mengelilingi rumah sebanyak tujuh kali. Perempuan yang hamil itu harus berbuat seperti kerbau dan menirukan bunyi kerbau sambil dituntun dan diiringkan oleh anak-anak yang memegang cambuk. Setelah mengelilingi kandang kerbau atau rumah, kemudian oleh indung beurang dimandikan dan disuruh masuk ke dalam rumah. Di kota pelaksanaan upacara ini sudah jarang dilaksanakan.
Sikap Bidan terhadap budaya di Sunda:
a.       Bidan menghargai dan menghormati adat dan kebiasaan masyarakat setempat.
b.      Bidan mendukung pelaksanaan upacara adat yang tidak membahayakan ibu dan janinnya.
c.       Bidan melakukan pendekatan kepada ibu hamil, dukun bayi, dan keluarga agar tidak melakukan upacara adat yang membahayakan ibu dan bayinya.

E.     Adat Istiadat Madura Pada Masa Kehamilan
1.    Upacara Pelet Kandhung
Upacara pelet kandhung atau pelet bettang adalah sebuah upacara ritual orang hamil yang biasa dilakukan oleh penduduk yang berdiam di daerah Bangkalan dan Sampang Madura. Sebenarnya upacara pelet khandung ini mirip dengan tradisi yang biasa dilaksanakan oleh beberapa tempat di nusantara ketika masa kehamilan telah mencapai usia 7 bulan. Tapi seperti halnya pepatah lama yang berbunyi lain lubuk lain belalang, maka meskipun upacara ini sama-sama dilakukan oleh orang yang sedang hamil, tapi tentu saja cara dan prosesi yang dilakukan berbeda-beda.
Sebelum upacara pelet kandhung dilaksanakan, si ibu yang tahu bahwa dirinya hamil akan mengadakan upacara nandai yaitu sebagai penanda bahwa dirinya hamil. Setelah upacara nandai usai, maka akan ditaruh sebiji bigilan atau beton (biji dari buah nangka) di atas sebuah leper (tatakan cangkir) dan diletakkan di atas meja. Setiap bulannya, di leper itu ditambah satu biji bigilan sesuai dengan hitungan usia kandungan perempuan tersebut. Dan, pada saat di atas leper itu telah ada tujuh biji bigilan yang menandakan bahwa usia kandungan telah mencapai tujuh bulan, maka barulah diadakan upacara pelet kandhung atau pelet betteng.
Sebagaimana halnya upacara pada umumnya, dalam upacara pelet kandhung yang biasanya akan dilaksanakan pada saat bulan sedang purnama dan selepas isya ini pun memiliki tata cara tersendiri dan dibagi dalam beberapa tahap yang harus dijalankan oleh yang akan melaksanakan upacara. Disamping itu, harus disiapkan juga berbagai peralatan dan perlengkapan yang akan menunjang pelaksanaan upacara pelet kandhung. Adapun peralatan dan perlengkapan untuk upacara pelet kandhung ini antara lain :
a.    Kain putih sepanjang 1½ meter untuk digunakan sebagai penutup badan sang ibu hamil ketika melaksanakan upacara dimandikan
b.    Air 1 belanga besar untuk mandi
c.    Bunga setaman untuk campuran air mandi pada saat upacara pemandian
d.   Gayung yang terbuat dari tempurung kelapa dan gagangnya dari ranting pohon beringin yang masih ada daunnya
e.    1 butir telur ayam mentah dan 1 butir telur ayam matang dengan direbus
f.     Ketan kuning yang telah masak
g.    Seekor ayam muda
h.    Minyak kelapa untuk digunakan mengurut dalam pijat perut
i.      Kemenyan Arab
j.      Setanggi
k.    Uang logam yang nantinya dicemplungkan kedalam air yang akan dipakai dalam upacara pemandian
l.      Sepasang kelapa gading yang telah digambari tokoh wayang Arjuna dan Sembodro serta dibubuhi tulisan Arab atau Jawa
m.  Kue procut, juadah pasar (jajanan pasar), lemeng (ketan yang dibakar dalam bambu), tettel (penganan yang terbuat dari ketan), minuman cendol, la’ang dan bunga siwalan (semacam legen), untuk makanan yang akan disajikan dalam upacara kenduri atau orasol
Dan tahap-tahap yang harus dilalui oleh orang yang dalam hal ini si ibu hamil dalam upacara pelet kandhung itu yakni: 
1.    Tahap pijat perut
Upacara ini diawali dengan pembacaan ayat-ayat Al Quran (Surat Yusuf dan Maryam) oleh para undangan laki-laki yang dipimpin oleh seorang Kyae. Dan selagi para lelaki itu membaca Alquran di ruang tamu, di dalam bilik perempuan yang mengandung itu mulai dilaksanakan prosesi pelet kandhung. Dukun baji mulai memelet atau memijat bagian perut perempuan tersebut dengan menggunakan minyak kelapa. Maksud dari tindakan ini adalah untuk mengatur posisi bayi di dalam kandungan. Dan sementara dukun baji itu memijit perut perempuan hamil itu, secara bergiliran sanak kerabat akan masuk kedalam bilik untuk mengusap perut si perempuan hamil itu sembari memanjatkan doa agar si calon ibu dan bayinya selalu dilindungi Tuhan sampai proses melahirkan kelak.
2.    Tahap penyepakan ayam
Setelah upacara pijat perut selesai, maka sang dukun baji ini akan membimbing si ibu hamil menuju ayam yang diikat di kaki ranjang untuk di sepak sampai menimbulkan bunyi “keok”. Ayam yang telah di sepak ini nantinya setelah upacara selesai akan diberikan kepada dukun baji sebagai ucapan terima kasih sekaligus sebagai pengurip
3.    Tahap penginjakan telur dan kelapa muda
Setelah tahap penyepakan ayam dilewati maka sang dukun baji pun kembali membimbing si ibu hamil tadi menuju prosesi berikutnya yakni upacara penginjakan telur dan kelapa muda. Dalam prosesi ini si ibu hamil terlebih dahulu diminta untuk memakai kain putih untuk kemudian disuruh kaki kanannya menginjak kelapa muda, dan kaki kiri menginjak telur. Yang unik dari prosesi ini adalah apabila telur yang diinjak itu berhasil dipecahkan maka mereka meyakini bahwa anak yang bakal lahir nanti berjenis kelamin laki-laki. Tapi bila tak berhasil dipecahkan maka si dukun baji akan memungut telur tersebut untuk digelindingkan ke perut sang ibu hingga menggelinding menyentuh tanah. Begitu telur itu pecah maka para undangan yang hadir pun akan berseru “Jabing! Jabing!” yang berarti bahwa bayi yang akan lahir kelak berjenis kelamin perempuan.
4.    Tahap ritual dimandikan
Pada tahap ini ibu hamil dimandikan oleh kerabat menggunakan air tertentu yang telah diberi kembang setaman di kamar mandi atau halaman belakang. Sang dukun baji ini pertama-tama akan mengambil gayung terbuat dari tempurung kelapa dan gagangnya dari ranting pohon beringin yang masih ada daunnya, kemudian menaburkan kembang setaman dan uang logam ke dalam air kongkoman dari periuk tanah, kemudian mengambil air tersebut menggunakan gayung tadi lalu diguyurkan kepada si ibu hamil. Selesai dukun baji barulah kemudian giliran kerabat dan handai taulan si ibu hamil ikut memandikan menggunakan air yang sama tadi hingga air kongkoman habis. Selesai dimandikan kemudian si ibu hamil ini pun akan dibawa kembali ke dalam kamar untuk dirias dan dipakaikan baju paling bagus agar begitu si ibu hamil di bawa keluar menemui tamu undangan para tamu akan berseru “Radin! Radin!” yang berarti cantik.
Setelah itu, acara diteruskan dengan penyerahan dua buah cengker yang telah digambari tokoh wayang Arjuna dan Sembodro kepada Kyae untuk didoakan. Setelah selesai didoakan barulah cengker itu kembali diserahkan kepada matowa bine untuk diletakkan di tempat tidur menantu perempuannya yang sedang hamil itu hingga si perempuan melahirkan bayinya.
Dan tahap terakhir adalah pemberian jamu dek cacing towa untuk diminum si ibu hamil dan pemberian nasi ponar dan telur rebus. Oh iya, setelah jamu dek cacing towa diminumkan maka tempat jamu (cengkelongan) itu kemudian dilemparkan ke halaman. Masyarakat Madura meyakini bahwa jika cengkolan tersebut jatuh terlentang maka bayi yang akan lahir akan berjenis kelamin laki-laki dan sebaliknya.
5.    Tahap Orasol atau kenduri
Pada tahap ini semua tamu undangan akan diajak makan bersama dengan hidangan-hidangan khas upacara pelet kandhung seperti Kue procut, juadah pasar (jajanan pasar), lemeng (ketan yang dibakar dalam bambu), tettel (penganan yang terbuat dari ketan), minuman cendol, la’ang dan bunga siwalan (semacam legen) dan sebagainya sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan sekaligus terimakasih kepada semua kerabat yang telah ikut membantu terlaksananya upacara pelet kandhung ini.
Dengan digelarnya orasol ini maka selesailah serangkaian upacara pelet kandhung ini.
Sikap Bidan terhadap budaya di Madura:
a.    Bidan menghargai dan menghormati adat dan kebiasaan masyarakat setempat.
b.    Bidan mendukung pelaksanaan upacara adat yang tidak membahayakan ibu dan janinnya.
c.    Bidan mengarahkan kepada ibu, keluarga dan keluarga agar melakukan upacara adat yang aman bagi ibu. Seperti mdalam upacara adat memandikan ibu, seharusnya ibu dimandikan di ruang tertutup agar ibu tidak kedinginan dan menjaga privasi ibu.
d.   Bidan melakukan pmbekalan kepada dukun  bayi tentang penanganan yang benar pada ibu dan bayi.
FOLLOW UP




BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
        Adat didefinisikan sebagai aturan (perbuatan) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala. Adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi satu sistem atau kesatuan. Sementara istiadat didefinisikan sebagai adat kebiasaan. Dengan demikian, adat istiadat adalah himpunan kaidah-kaidah sosial yang sejak lama ada dan telah menjadi kebiasaan (tradisi) dalam masyarakat.
     Indonesia merupakan negara dengan beribu adat istiadat. Dimana setiap adat berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lainnya. Setiap daerah memiliki ciri khas sesuai kepercayaan yang dianut daerah tersebut. Begitu juga termasuk adat istiadat dalam hal kehamilan wanita. Setiap daerah memiliki upacar adat tersendiri yang dipercaya dapat menjadi tolak balak dan melindungi keselamatan ibu dan calon bayi. Seperti di daeraah Jawa terdapat upacara tujuh bulanan yang disebut dengan Mitoni,  atau di daerah Makasar terdapat upacara tujuh bulanan yang disebut dengan upacara Appasilli.
     Dengan adanya keunikan-keunikan tersebut, maka bidan diharapkan mampu menyesuaikan diri terhadap adat dan kebiasaan tersebut dan mampu mengambil sikap sesuai peran dan fungsi bidan untuk menekan angka kematian ibu dan bayi di daerah tersebut.
B.     SARAN
            Bagi Dinas Kesehatan
a.       Mencanangkan program penyuluhan untuk menambah pengetahuan masyarakat tentang perawatan kehamilan yang benar
b.      Bekerjasama dengan pemerintah dalam penyediaan wadah untuk peningkatan ketrampilan para dukun agar dapat merawat kehamilan ibu dan bayi dengan aman.
c.       Memberikan himbauan kepada masyarakat tentang upacara apa saja yang berbahaya dan tidak berbahaya bagi kesehatan.
Bagi Tokoh Masyarakat
a.    Pemerintah diharapkan memberikan fasilitas pada setiap daerah di Indonesia berupa fasilitas kesehatan untuk menekan angka kematian pada ibu dan anak.
b.    Menyediakan wadah bagi masyarakat terutama pada dukun di daerah yang dipercaya untuk merawat ibu hamil untuk mendapatkan pelatihan dan ketrampilan melalui dinas kesehatan.
Bagi Teman Sejawat
a.    Bekarja sama dengan bidan lainnya untuk membantu perawatan ibu hamil di berbagai daerah sesuai dengan adat istiadat daerah tersebut.
b.    Menumbuhkan sikap saling menghargai terhadap perbedaan adat dan kebiasaan antar daerah di Indonesia.


























DAFTAR PUSTAKA

Satria Loka Jaya.2016.https:/satrialokajaya.wordpress.com.Adat Istiadat Jawa pada Masa Kehamilan dan Kelahiran anak. Dikutip pada tanggal 18 Februari 2018 pukul 16.00 WIB.
Dwi Suci.2016.https://bidandwisuci.wordpress.com.Adat Istiadat Kesehatan Ibu dan Bayi Suku Bugis. Dikutip pada tanggal 18 Februari 2018 pukul 16.30 WIB.
Udhiexz.2008.https://udhiexz.wordpress.com. Upacara Mandi Hamil dalam Pandangan Masyarakat Banjar. Dikutip pada tanggal 18 Februari 2018 pukul 16.30 WIB.
Salangit.https://salangit.wordpress.com.Adat Istiadat Upacara Adat Sunda. Dikutip pada tanggal 18 Februari 2018 pukul 16.45 WIB.
Arsip Budaya.2014.http://arsipbudayanusantara.blogspot.co.id.Upacara Pelet Kandhung pada Masyarakat. Dikutip pada tanggal 18 Februari 2018 pukul 17.00 WIB.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar